Wednesday, September 14, 2016

MAKALAH PAI SYARI'AH


BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Ulama ushul fiqh seperti Muhamad Ali Ibnu Muhamad al. Syaukani berpendapat bahwa hokum syar’i itu adalah tuntutan Allah Ta’ala yang berkaitan dengan perbuatan orang mukalaf, baik berupa tuntutan, pilihan atau menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat, penghalang, sah, batal, ruhkhsah atau azimah ( Nasrun Haroen 1, 1995 :208 ).
               Syari’ah / hukum islam pada saat ini sepertinya sudah dikesampingkan oleh sebagian umat Islam.Padahal jika kita pahami tujuan dari syariah Islam tersebut sangatlah baik.

1.2.Rumusan Masalah
                  Berdasarkan latar belakang makalah ini, maka penyusun membuat suatu rumusan masalah, yaitu :
1.      Apa sebenarnya syariah tersebut.
2.      Apa-apa saja pembagian hokum Islam.
3.      Bagaimana sebenarnya prinsip dan watak syariah Islam tersebut..
4.      Apa tujuan dari Syariah itu..
5.      Bagaimana penerapan syariah Islam dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari..

1.3.Batasan Masalah
            Hukum-hukum syariah yang selama ini sudah terkesampingkan dalam masyarakat Islam di Indonesia.
1.4.Tujuan
   Makalah ini disusun dengan tujuan untuk lebih mengenal tentang permasalahan syariah. Baik itu dari segi pengertiannya, pembahagian hokum Islam itu sendiri yang terbagi kepada hokum taklifi dan hokum wadh’I, prinsip-prinsip dan watak syariah Islam yang diketahui sesuai dengan fitrah manusia, lues dalam pelaksanaannya, tidak memberatkan manusia,dsb. Selain itu juga dibahas tentang bagaimana menerapkan hokum Islam tersebut.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1.    Pengertian Hukum Syar’i / Hukum Islam  ( Syariah )

                Kata Syara’ secara etimologi berarti jalan-jalan yang dapat ditempuh air, maksudnya adalah jalan yang dilalui manusia untuk menuju Allah. Apabila kata hokum dirangkai dengan kata syara’ yaitu Hukum Syara’ berarti seperangkat peraturan berdasarkan ketentuan Allah SWT. Tentang tingkah laku manusia yang diakui dan diyakini berlaku serta mengikat untuk semua umat yang beragama Islam ( Amir Syarifuddin I, 1997 : 281 ). Istilah Syara’ juga sering disebut dengna hokum. Dua istilah ini secara terminologi sama, bahkan istilah syara’ dalam pemakaiannya dipersempit pada aspek-aspek hukum yang dipahami sekarang yaitu aturan-aturan Allah berkenaan dengan kehidupan atau aktivitas manusia.

                Kata huku dalam bahasa Arab Ø­Ú«Ù… yang secara etimologi berarti memutuskan, menetapkan dan menyelesaikan. Pengertian kata hokum memiliki rumusan yang luas. Meskipun demikian secara sederhana dapat dikatakan bahwa hokum itu adalah seperangkat peraturan tentang tingkah laku manusia yang ditetapkan dan diakui oleh suatu Negara atatu kelompok masyarakat ( Amir Syarifuddin I, 1997 : 281 ). Terdapat perbedaan pendapat anatar ulama Ushul Fiqh dan ulama fiqhdalam memberikan pengertian hokum syar’i karena berbedanya sisi pandang mereka. Ulama ushul fiqh seperti Muhamad Ali Ibnu Muhamad al. Syaukani berpendapat bahwa hokum syar’i itu adalah tuntutan Allah Ta’ala yang berkaitan dengan perbuatan orang mukalaf, baik berupa tuntutan, pilihan atau menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat, penghalang, sah, batal, ruhkhsah atau azimah ( Nasrun Haroen 1, 1995 :208 ).

      Ulama Fiqih berpendapat bahwa Hukum adalah akibat yang ditimbulkan oleh kitab (tuntutan ) sayr’I berupa wujub, mandub, hurmah, karabah dan ibadah. Perbuatan yang dituntut itu menurut mereka disebut wajib, sunah, haram, makruh dan mubah ( Nasrun Haroen, 1995 : 210 ).

      Jadi ulama ushul fiqh mengatakan bahwa yang disebut hukum ini ada;ah dalil itu sendiri baik Al-Qur’an maupun sunnah Nabi, tetapi ulama fiqh tidak membedakan antara dalil dengan akibat yang ditimbulkan dalil itu. Karena itu keduanya mereka sebut denga ‘al-wajib.

2.2. Pembagian Hukum Islam

                  Berdasarkan defenisi di atas , ulama ushul fiqh membagi hokum Islam tersebut kepada dua pembagian yaitu hokum al-taklifi dan wadh’i.

      A. Hukum Taklifi

            Hukum taklifi adalah titah Allah yang berbentuk tuntutan dan pilihan. Dinamakan hokum taklif karena titah ini langsung mengenai perbuatan orang yang sudah mukallaf. Yang dimaksud dengan mukallaf dalam kajian hokum islam adalah setiap orang yang sudah baligh (dewasa) dan waras. Anak-anak, orang gila / mabuk dan orang tertidur tidak termasuk golongna mukallaf, maka segala tindakan yang mereka lakukan tidak dapat dikenakan sangsi hokum. Ada dua bentuk tuntutan di dalam hokum islam, yaitu tuntutan untuk mengerjakan dan tuntutan untuk meninggalakan. Dari segi kekuatan tuntutan tersebut terbagi pula ke dalam dua bentuk yaitu tuntutan yang bersifat mesti dan tuntutan yang tidak mesti dan pilihan yang terletak di antara mengerjakan dan meninggalkan.

            Menurut Al-Amidi ( 1983 : 91 ) hokum taklif itu ada empat dengan tidak memasukkan al-ibadah (pilihan) karena yang dimaksud dengan taklif itu adalah beban kepada orang yang mukallaf baik untuk mengerjakan atau meninggalkan, sedangkan menurut jumhur ulama hokum taklif itu ada lima macam yang disebut juga dengan hukum yang lima sebagai berikut.

a.               Wajib, yaitu tuntutan yang mengandung suruhan yang mesti dikerjakan, sehingga orang yang mengerjakan patut mendapatkan ganjaran, dan kalau ditinggalkan patut mendapatkan ancaman, seperti firman Allah dalam Q.S 4 : 36 yang terjemahannya sebagai berikut.

   “ Sembahlah olehmu Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun (Depag. R.I ,1984:123 ).

b.   Sunat, yaitu tuntutan yang mengandung suruhan tetapi tidak mesti dikerjakan, hanya berupa anjuran untuk mengerjakannya. Bagi orang yang melaksanakan berhak mendapatkan ganjaran. Karena kepatuhannya, tetapi apabila tuntutan itu ditinggalkan boleh saja, tidak mendapat ancaman dosa seperti firman Allah SWT. Dalam Q.S 2 : 282 yang terjemahannya sebagai berikut.

      “ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan , hendaklah kamu menuliskannya”. (Depag. R.I, 1984 : 70).

c.               Haram, yaitu tuntutan yang mengandung larangan yang mesti dijauhi. Apabila seseorang telah meninggalkannya berarti dia telah patuh kepada yang melarangnya, karena itu dia patut mendapatkan ganjaran berupa pahala. Orang yang tidak meninggalkan larangan berarti dia telah mengingkari tuntutan Allah, karena itu patut mendapatkan ancaman dosa, seperti firman Allah SWT. Dalam Q.S 17 : 23 yang terjemahannya sebagai berikut.

      “ …Janganlah kamu mengatakan ah kepada ibu bapakmu, dan janganlah kamu menghardikkeduanya, katakanlah kepada keduanya perkataan yang mulia.” (Depag. R.I, 1984 : 427).

d.   Makruh, yaitu tuntutan yang mengandung larangan tetapi tidak mesti dijauhi. Artinya orang yang meninggalkan larangan berarti telah mematuhi yang melarangnya, karena itu ia berhak mendapat ganjaran pahala. Tetapi karena tidak ada larangan yang bersifat mesti, maka orang yang meninggalakan larangan itu tidak dapat disebut menyalahi yang melarang, dan tidak berhak mendapatkan ancaman dosa seperti sabda Nabi SAW. Berikut ini.
      “Dari Ibnu Umar, semoga Allah meridhainya, Rasulullah SAW bersabda, perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah Thalak.” (HR. Abu Daud, Ibn Majah dan dishahihkan Hakim)(Al-Shan’ani, hal : 168).

e.               Mubah, yaitu titah Allah SWT yang memberikan titah kemungkinan untuk memilih antara mengerjakan atau meninggalkan , dalam hal ini tidak ada tuntutan baik mengerjakan atau meninggalkan. Apabila seseorang mengerjakan dia tidak diberi ganjaran dan tidak pula ancaman atas perbuatannya itu. Dia juga tidak dilarang berbuat, karena itu apabila dia melakukan perbuatan itu dia tidak diancam dan tidak diberi ganjaran seperti firman Allah SWT dala Q.S 2 : 229 yang terjemahannya sebagai berikut.
      “Talak (yang dapat rujuk) dua kali. Setelah itu, boleh rujuklagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik (Depag. R.I, 1984 : 55).

Pengaruh titah ini terhadap perbuatan disebut juga ibahah, dan perbuatan yang diberi pilihan untuk berbuat atau tidak itu disebut mubah.

B.     Hukum Wadh’i
            Ulama ushul fiqh membagi hokum wadh’I kepada lima macam yaitu berikut ini. Sabab, syarth, mani’, shah, dan bathil (Nasrun Haroen, 1995: 40), sedangkan menurut Al-Amidi tujuh macam yaitu berikut ini. Sabab, syarth, mani’, shah, bathil,azimah dan rukhsah (Al-Amidi, 1983 : 91).

1.   Sabab, yaitu titah yang menetapkan bahwa sesuatu itu dijadikan sebabbagi wajib dikerjakan suatu pekerjaan , seperti firman Allah SWT dalam Q.S 17 :78 yang terjemahannya sebagai berikut.
      “Dirikanlah shalat sesudah matahari tergelincir.” (Depag. R.I, 1984 : 436).

2.   Syarath, yaitu titah yang menerangkan bahwa sesuatu itu dijadikan syarat bagi sesuatu seperti sabda Nabi SAW, yang terjemahannya sebagai berikut.

      “Sesungguhnya Allah tidak menerima shalat salah seorang di antara kamu apabila dia berhadas hingga berwudhu.” H.R. Syaikhani (Al-Shan’ani I, ttth :40).

            Shalat tidak dapat dilaksanakan tanpa wudhu, tetapi seseorang yang dalam keadaan berwudhu tidak otomatis harus mengerjakan shalat karena berwudhu itu merupakan salah satu syarat sah nya shalat. Jadi suatu hokum taklifi tidak dapat dilaksanakan sebelum memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan syara’. Oleh sebab itu berwudhu ( suci ) merupakan syarat sahnya shalat.

3.   Mani’ (penghalang), yaitu sesuatu yang nyata keberadaannya menyebabkan tidaj ada hokum. Misalnya sabda Rasulullah SAW kepada Fatimah binti Abi Hubeisy yang terjemahannya sebagai berikut.

      “ Apabila datang haid kamu tinggalkanlah shalat, dan apabila telah berhenti, maka mandilah dan shalatlah.” H.R. Bukhari ( Al-Asqalany, I tth :63).
            Dari contoh-contoh di atas jelas keterkaitan antara sebab, syarat dan mani’ sangat erat.

4.   Shah, yaitu suatu hokum yang sesuai dengan tuntutan syara’. Maksudnya hokum itu dikerjakan jika ada penyebab , memenuhi syarat-syarat dan tidak ada sebab penghalang untuk melaksanakannya. Misalnya, mengerjakan shalat zuhur setelah tergelincir matahari sabab (sebab)telah berwudhu (syarat), dan tidak ada penghalang (mani’) seperti haid, nifas dan sebagainya, maka hukumnya adalah sah.

5.   Bathil, yaitu terlepasnya hokum syara’ dari ketentuan yang ditetapkan dan tidak ada akibat hokum yang ditimbulkannya, seperti batalnya jual beli dengan memperjualbelikan minuman keras, karena minuman keras itu tidak bernilai harta dalam ketentuan hukum syara’.

            Adapun mengenai rukhsah dan ‘azimah, Syarifuddin sependapat dengan Al-Amidi yaitu termasuk pemabahasan hokum wadh’i dalam pelaksanaan hokum taklifi (Syarifuddin I, 1997: 28). ‘Azimah yaitu hokum asal atau pelaksanaan hokum taklifi berdasarkan dalili umum tanpa memandang kepada keadaan mukallaf yang melaksanakannya, seperti haramnya bangkai untuk umat Islam.
            Rukhsah, yaitu keringanan atau pelaksanaan hokum taklifi berdasarkan dalil yang khusus sebagai pengecualian dari dalil yang umum karena keadaan tertentu seperti boleh memakan bangkai dalam keadaan tertentu, walaupun secara umum memakan bangkai itu haram.

2.3. Prinsip dan Watak Syari’ah
             Tujuan utama syari’ah mengajak manusia kepada kebaikan dan melarang dari berbuat salah, mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Untuk itu dalam pelaksanaannya sayri’ah mempunyai lima prinsip umum yang dikemukakan oleh Supan Kusumamiharja, (1978) antara lain sebagai berikut.

a. Sesuai dengan Fitrah Manusia
             Allah menegaskan tentang kesesuaian sayri’ah dengan potensi manusia di antaranya dalam Q.S 30:30 dan Q.S 2 :185. Dua ayat tersebut menjelaskan bahwa seluruh aturan yang ada dalam syari’ah tidak ada yang tidak dapat dilakukan oleh manusia sesuai dengan situasi dan kondisinya masing-masing. Bahkan Allah mengkehendaki kemudahan bagi manusia, bukan kesukaran.

b. Luwes dalam Pelaksanaannya
             Allah menjelaskan tentang keluwesan syariah tersebut dalam Q.S 2:173, bahwa hal-hal yang diharamkan dalam suatu keadaan dan kondisi tertentu, dapat menjadi halal dalam keadaan dan kondisi lain, yaitu dalam keadaan terpaksa. Contoh lain seperti yang dijelaskan dalam hadis Rasul riwayat Bukhari, (Al-Asqalany, tth:99) bahwa bagi orang yang tidak mampu mengerjakan shalat dalam keadaan berdiri, maka ia boleh melakukannya sambil duduk, dan selanjutnya boleh sambil berbaring.

c. Tidak Memberatkan
             Semua syariat Allah tidak ada yang berat, sehingga manusia tidak mampu melaksanakannya. Contoh ibadah yang diwajibkan 5 kali dalam 24 jam, yang hanya membutuhkan waktu minimal kira-kira 5x7 menit = 35 menit, zakat harta hanya berkisar 2,5 %, 5%, dan 10 %, ibadah haji cukup sekali seumur hidup, begitu juga dengan benda yang diharamkan hanya sebagian kecil apabila dibandingkan dengan yang dihalalkan.

d. Penetapan Hukum Secara Bertahap
             Allah mengharamkan suatu hal tidak secara langsung, melainkan melalui tahapan. Contoh pengaharaman minuman keras, tidak langsung sekaligus dilarang tetapi berangsur-angsur setahap demi setahap sampai akhirnya diharamkan. Allah SWT menurunkan ayat larangan minuman keras dengan larangan secara bertahap. Prosesnya diawali dengan turunnya Q.S 2:219 yang mengatakan bahwa pada khamar dan judi terdapat dosa besar dan ada manfaatnya bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar daripada manfaatnya. Setelah itu Allah turunkan Q.S 4:43 berupa larangan mendekati shalat bagi orang-orang yang mabuk.
             Kemudian Allah turunkan Q.S 5: 90 yang menyatakan secara tegas tentang haramnya minuman keras dan ditegaskan oleh hadis Rasul walaupun sedikit diminum maka statusnya sama, yaitu hukumnya haram.

e. Tujuan Syari’ah adalah Keadilan
             Pencapaian keadilan di dalam syariah secara eksplisit tampak pada adanya penjelasan tentang pokok-pokok akhlak yang baik yang terdapat dalam syariat tersebut. Allah menjelaskan hal itu di dalam Q.S 16:90.
             Syari’ah Islam mempunyai tiga watak yang tidak berubah-ubah yaitu berikut ini: (1) takammul (lengkap), (2) wasathiyyah (pertengahan/moderat), (3) harakah (dinamis). Watak takammul memperlihatkan bahwa syari’ah itu dapat melayani golongan yang tetap pada apa yang sudah ada (konsisten), dan dapat pula melayani golongan yang menginginkan pembaharuan (Dahlan II, ed. 1997:577).
             Konsep  wasathiyyah mengkehendaki keselarasan dan keseimbangan atara segi kebendaan dan segi kejiwaan. Keduanya sama-sama diperlihatkan tanpa mengabaikan salah satu dari padanya, sedangkan dari segi harakah (kedinamisan), syari’ah mempunyai kemampuan untuk bergerak dan berkembang. Untuk mengiringi perkembangan itu di dalam syari’ah ada konsep ijtihad.
2.4. Aplikasi Syariah
            Aplikasi atau pelaksanaan hukum Islam sebagaimana yang telah disebutkan di atas selain bertujuan menunjukkan kepatuhan kepada Allah SWT dan mencari ridha-Nya juga untuk memberikan panduan/ bimbingan kepada manusia dalam menempuh kehidupannya demi terwujdnya atau terciptanya keselamatan dunia dan kebahagiaan akhirat (Q.S 51:56; Q.S 2:201). Berdasarkan tujuan tersebut menurut Amir Syarifuddin I, (1997: 5), hokum Islam itu mengandung dua bidang pokok, yaitu berikut ini.
      1)   Kajian tentang perangkat peraturan terinci yang bersifat amaliah dan harus  diikuti umat Islam dalam kehidupan beragama, yang disebut fiqih.
      2)   Kajian tentang ketentuan serta cara dan usaha yang sistematis dalam menghasilkan perangkat peraturan yang terinci itu disebut ushul fiqh.
            Fiqh dan ushul fiqh merupakan dua bahasan yang terpisah, tetapi saling berkaitan. Pada topik ini yang menjadi bahasan adalah hokum amaliyah (fiqih) yang pembahasannya dikembangkan dalam Ilmu Syari’ah. Ilmu Syari’ah adalah ilmu yang mengkaji tentang hokum-hukum yang berkaitan dengan hubungan antara manusia dengan penciptanya dan antara manusia dengan sesame manusia dan makhluk lainnya. Aspek pembahasan hokum ini dibagi menjadi sebagai berikut.

a. Ibadah dalam Arti Khusus ( Ibadah Mahdhah )
               Yaitu ibadah yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang sudah digariskan agama Islam secara rinci, seperti thaharah, shalat, puasa, zakat, dan haji. Berikut ini adalah penjelasan rinci tentang ibadah mahdhah tersebut.
1) Thaharah
            Menurut bahasa thaharah berarti bersih dari kotoran. Dan menurut istilah terdapat perbedaan pendapat ulama, Abdurrahman al-Jaziri penyusun kitab al-Fiqh ala Mazahib al-Arba’ah berpendapat thaharah adalah suatu sifat maknawi yang ditentukan oleh Allah SWT sebagai syarat syahnya shalat (Dahlan V, 1997:1747). Dasar hukumnya antara lain firman Allah SWT dalam Q.S 2:222 yang terjemahannya sebagai berikut.

“…Sesungguhnya Allah menyenangi orang-orang yang bertaubat, dan menyenangi orang-orang yang suci (bersih).” (Depag. R.I, 1984:54).

            Dalil lainnya terdapat antara lain dalam Q.S 2:125, dan Q.S 74:1-5.
            Thaharah dalam ajaran Islam merupakan bagian dari pelaksanaan ibadah kep[a]da Allah. Setiap muslim diwajibkan  shalat lima waktu sehari semalam dan sebelum melaksanakannya disyaratkan bersuci terlebih dahulu. Hal ini membuktikan bahwa ajaran Islam sangat memperhatikan dan mendorong umat Islam untuk membiasakan diri hidup bersih, indah, dan sehat. Karena itu kehidupan umat Islam adalah kehidupan yang suci dan bersih.
            Di samping sebagai suatu kewajiban, thaharah juga melambangkan tuntutan Islam untuk memelihara kesucian diri dari segala kotoran dan dosa. Allah yang Maha Suci hanya dapat didekati oleh orang-orang yang suci, suci fisik dari kotoran dan suci jiwa dari dosa. Jadi thaharah berarti membersihkan diri lahir dan batin, jasmani dan rohani dari hadas, najis, dan penyakit rohani seperti syirik, ria, sombong dan sifat-sifat tercela lainnya.
            Adapun alat untuk bersuci adalah air untuk wudhu dan mandi dan tanah ataupun debu untuk tayamum. Bersuci dari hadas dengan jalan wudhu dan mandi, dalam keadaan tertentu dapat diganti dengan tayamum. Bersuci dari najis berlaku pada badan, pakaian dan tempat dengan cara menghilangkan warna, bau, bentuk dan rasa najis tersebut. Bersuci dari penyakit rohani dengan cara memohon ampun kepada Allah SWT, dan meluruskan niat kembali untuk menghilangkan penyakit rohani itu.

2) Shalat
            Secara bahasa shalat berarti do’a sebagaiman firman Allah SWT dalam Q.S 9:103 yang terjemahannya sebagai berikut.

“Dan berdoalah untuk mereka, sesungguhnya do’a, kamu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka”. (Depag, R.I, 1984:297).

            Shalat menurut istilah berarti suatu ibadah yang mengandung ucapan dan perbuatan tertentu yang dimulai dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam. Dasar shalat sebagai salah satu rukun Islam adalah firman Allah SWT dalam Q.S 2:34 yang terjemahannya sebagai berikut.
     
“Dirikan shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’”. (Depag, R.I, 1984:16).

            Selanjutnya firman Allah SWT tentang shalat antara lain ditemui dalam Q.S 2:238; Q.S 98:5; Q.S 4:103.
            Perintah shalat dapat dikelompokkan ke dalam perintah wajib dan perintah sunnah. Shalat fardhu terbagi dua yaitu fardhu’ain dan fardhu kifayah. Adapun perintah yang bersifat fardhu’ain itu adalah perintah kepada individu-individu dan tidak dapat ditumpangkan kepada orang lain seperti shalat lima waktu. Perintah yang bersifat fardhu kifayah yaitu kewjiban yang apabila sudah dilaksanakan oleh sebahagian atau sekelompok muslim maka gugurlah kewajiban muslim lainnyaseperti shalat jenazah. Ketentuan shalat ditetapkan oleh syari’at Islam berdasarkan AL-Qur’an dan dicontohkan oleh Nabi SAW begitu juga pada shalat jum’at dan shalat jenazah. Shalat fardhu’ain yang lain adalah shalat jum’at bagi laki-laki. Shalat jum’at adalah shalat yang dilakukan pada waktu zuhur secara berjama’ah dan diawali dengan dua khutbah. Kewajiban shalat jum’at didasarkan pada firman Allah SWT dalam Q.S 62:9 yang terjemahannya sebagai berikut.

“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseur  untuk menunaikan shalat pada hari jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkan jual-beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”. (Depag. R.I, 1984:933).
            Shalat yang fardhu kifayah adalah melaksanakan shalat jenazah. Shalat jenazah mempunyai persyaratan yang sama dengan persyaratan shalat yang lain, seperti menutup aurat, suci badan dan pakaian dari najis, dan menghadap kiblat, sedangkan rukun shalat jenazah adalah; niat, takbir 4 kali dengan takbiratul ihram, membaca Al-Fatihah sesudah takbiratul ihram, membaca shalawat kepada Nabi sesudah takbir kedua, mendoakan mayat sesudah takbir ketiga, doa sesudah takbir yang keempat, berdiri jika kuasa dan salam.

            Kewajiban shalat bagi setiap muslim tidak pernah berhenti dalam keadaan apapun, sepanjang berakal sehat, yang disebut dengan azimah, namun Islam memberikan keringanan yang diberikan kepada orang yang sedang sakit atau dalam perjalanan, berupa jamak dan qasar. Adapun jamak adalah mengumpulkan dua shalat pada satu waktu, yaitu shalat zuhur dan ashar dan shalat maghrib dan isya. Apabila shalat maghrib disebut jamak taqdim. Apabila shalat zuhur dilakukan pada waktu ashar atau pada waktu maghrib disebut jamak ta’khir.

            Shalat qasar adalah meringkas shalat yang empat rakaat menjadi dua rakaat, yaitu shalat zuhur, ashar, dan isya. Biasanya shalat jamak dilakukan sekaligus dengan mengqasarnya, sehingga shalat yang empat rakaat menjadi dua-dua rakaat.

            Shalat yang tidak dapat dijamak adalah shalat subuh, sedangkan shalat yang tidak dapat diqasarkan adalah shalat maghrib dan shalat subuh. Adapun shalat sunah juga banyak yang harus dilakukan oleh umat Islam. Dan shalat sunah nawafil yaitu shalat sunah yang mempunyai waktu tersendiri seperti shalat aidaini (dua hari raya), shalat tahiyatul masjid, shalat kusuf, shalat khusuf, shalat tahajud, shalat dhuha, dan lain-lain. Shalat-shalat sunah tersebut merupakan ibadah khusus, yang dilakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah, membina pribadi dan menjaga diri supaya tidak terjerumus kepada dosa serta selalu dalam lindungan Allah SWT.
            Shalat memiliki banyak hikmah. Antara lain mendidikorang agar disiplin dengan waktu, karena ibadah shalat harus dikerjakan pada waktu yang telah ditentukan. Shalat juga mengandung makna pembinaan pribadi, yaitu dapat menghindarkan diri dari perbuatan dosa dan kemungkaran. Dengan melakukan shalat perbuatan dapat dikontrol dengan baik karena setiap waktu shalat dia akan menghadap kepada Allah untuk memohon petunjuk dan meminta ampunan. Pribadi yangterkontrol sedemikian rupa akan cenderung bertingkah laku yang baikdan terhindar dari perbuatan dosa, sehingga setiap selesai shalat dia akan kembali kepada rutinitasnya dengan jiwa yang bersih.

3) Puasa
            Menurut bahasa puasa berarti menahan sebagaimana yang diungkapkan dalam firman Allah SWT dalam Q.S 19:26 yang terjemahannya sebagai berikut.

“Sesungguhnya Aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusia pun hari ini”. (Depag. R.I, 1984:465).

            Menurut istilah puasa adalah menahan diri dari segala perbuatan yang membatalkannya, seperti makan, minum, jimak mulai terbit fajar sampai terbenam matahari. Dasar hokum puasa ditemui dalam Al-Qur’an dan sunnah Rasul. Dari Al-Qur’an dasar hokum puasa adalah firman Allah dalam Q.S 2:183 yang terjemahannya sebagai berikut.
           
“Hai orang-orang yang beriman diwajibkan kepadamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, semoga kamu menjadi orang-orang yang bertakwa”. (Depag. R.I, 1984:44).

Puasa terbagi empat, yaitu puasa wajib, sunat, haram, dan makruh. Puasa wajib antara lain sebagai berikut ini.

         Pertama, puasa Ramadhan.
Perintah puasa ramadhan terdapat dalam firman Allah SWT dalam Q.S 2:183-185. Puasa Ramadhan mulai diwajibkan pada tahun kedua hijriyah.
Kedua, puasa Qadha.
Puasa qadha yaitu mengganti puasa Ramadhan yang ditinggalkan. Dalilnya yaitu firman Allah SWT dalam Q.S 2 :184.

Ketiga, puasa Nazar.
Puasa nazar yaitu puasa yang dikerjakan karena nazar untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dalil puasa nazar itu terdapat dalam firman Allah SWT Q.S 76:7.

Keempat, puasa Kifarat.
Puasa kifarat yaitu puasa sebagai akibat dari pelanggaran-pelanggaran tertentu seperti: supmpah palsu dengan melaksanakan puasa selama (3) hari. Dalilnya berdasarkan firman Allah SWT dalam Q.S 5 :89, membunuh ornag tidak sengaja dengan puasa dua bulan berturut-turut berdasarkan Q.S 4 :92, melakukan hubungan seks pada siang Ramadhan, melakukan zihar yaitu mengharamkan istri dan menyamakan istri dengan ibu berdasarkan Q.S 58:3-4.

Kelima, puasa Fidyah.
Puasa fisyah yaitu pengganti dari kewajiban melaksanakan qurban karena pelanggaran peraturan dalam ibadah haji, yaitu puasa 3 hari di kota Mekah dan 7 hari lagi di negeri sendiri. Kewajiban puasa fidyah ini didasarkan pada firman Allah SWT Q.S 2 : 196.

            Adapun puasa sunat atau tathawwu’ antara lain berikut ini. a) puasa senin dan kamis, b) puasa enam hari di bulan Syawal, c) puasa pada tanggal 9 Zulhijjah, d) puasa pada hari Asyura, e) puasa pada tiap tanggal 13, 14 dan 15 bulan Qamariah. Puasa haram,  antara lain berikut ini. a) puasa terus-menerus (wishal), b) puasa pada hari hari yang diharamkan yaitu hari tasyrik, (11, 12 dan 13 Zulhijjah) dan dua hari raya ( 1 syawal dan 10 zulhijjah), c) puasa hari syak (30 sya’ban), d) puasa seorang perempuan yang sedang haid atau nifas, dan e) puasa sunat seorang istri yang suaminya sedang berada di rumah sedangkan ia tidak mengizinkannya. Puasa makruh antara lain berikut ini. a) puasa sunat dengan susah payah ( karena sakit atau dalam perjalanan ), dan b) puasa sunat pada hari Jum’at atau hari sabtu saja (kecuali kalau harijum’at atau sabtu itu bertepatan dengan hari yang disunahkan puasa).
            Kesempurnaan puasa bukan hanya menahan diri dari makan dan minum, dan melakukan hubungan suami-istri pada siang Ramadhan saja, tetapi mengandung arti menahan  diri dari segala perbuatan yang tidak sesuai dengan hikmah dan tujuan puasa. Hikmah melaksanakan puasa antara lain adalah sebagai berikut ini.
      (1)  Disiplin rohaniah, merupakan pengekangan diri dari perbuatan yang membatalkan puasa
      (2)  Pembentukan akhlakul karimah, dengan berpuasa iman dididik untuk berbuat baik dan mulia
      (3) Pengembangan nilai-nilai social
      (4)  Latihan rohani yang dimulai dengan latihan-latihan secara fisik yaitu menahan diri dari makan, minum, hubungan seks, dan lain-lain.
            Puasa memiliki hikmah yang besar bagi yang mengamalkannya. Karena, puasa adalah ibadah yang mengandung niali-nilai pendidikan untuk menahan dan mengendalikan diri dari keinginan-keinginan negatif atau buruk yang mendorong kepada kejahatan.

(4) Zakat
               Zakat berarti suci, sedangkan menurut syari’ah, zakat adalah memberikan harta tertentu yang diwjibkan Allah mengeluarkannya kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Pendapat ini dikemukakan oleh Yusuf Qardawi (Dahlan VI, 1997:1985).
            Dasar hokum mengeluarkan zakat ini adalah firman Allah SWT dalam Q.S 9:103 yang terjemahannya sebagai berikut.

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendo’alah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (Depag. R.I, 1984:297).

            Zakat merupakan pemberian khas Islam, yang sudah diwajibkan Allah semenjak Nabi Ibrahim AS dan Nabi-nabi sesudahnya (Luth, Ishaq, Ya’kub dan lain-lain), sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.S 21:73 dan Q.S 5 :12.
            Kewajiban zakat ini dipertegas dengan sabda Rasulullah (terjemahannya) berikut ini.

“…Sesungguhnya Allah telah mewajibkan zakat harta yang diambil dari orang-orang kaya dan diserahkan kepada orang-orang miskin”. (H.R. Muttafaqun’alaih dan Lafaz Bukhari) (Al-Shan’ani I, tth:120).

            Secara garis besar zakat dibagi kepada dua macam yaitu berikut ini.
1) Zakat Mal (zakat harta)
            Adapun jenis harta yang wajib dizakatkan berdasarkan firman Allah SWT antara lain dalam Q.S 2 : 267.
      (a)  Ternak
      (b)  Emas dan perak
      (c)  Barang dagangan
      (d) Hasil pertanian
      (e)  Barang tambang dan harta terpendam
      (f)  Zakat hasil usaha dan profesi
            Dengan ketentuan nisab berkisar dari 2.5 % sampai dengan 20 %.
2) Zakat Nafs (zakat fitrah)
            Selain dari kewajiban membayar zakat harta, setiap muslim diwajibkan mambayar zakat fitrah sampai bulan Ramandhan berakhir. Zakat fitrah mulai diwajibkan pada bulan Ramadhan tahun ke-2 Hijriyah, sekaligus pada tahun diwajibkan ibadah puasa. Kewajiban zakat fitrah berlaku untuk seluruh umat Islam berdasarkan sabda Rasulullah (terjemahannya) sebagai berikut.

“Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitrah satu sa’kurma atau satu sa’gandum bagi hamba sahaya atau orang merdeka, baik laki-laki maupun perempuan, baik anak kecil maupun orang dewasa yang muslim. Perintah membayarnya sebelum shalat Id”. (H.R. Mutafaq Alaihi) (Al-Shan’ani, II tth:137).

            Mengenai orang-orang yang berhak menerima zakat dijelaskan pada Q.S 9:60 yang dikenal dengan asnaf yang delapan.

“Sesungguhnya zakat itu, hanyalah untuk orang-orang yang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mualaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan orang-orang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah; Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (Depag. R.I, 1984; 228).
     
            Zakat adalah ibadah maliyah (berkaitan dengan harta) yang memilki dampak sosial untuk memperkecil kesenjangan antara golongan kaya dan si miskin. Menurut ajaran Islam, harta adalah milik Allah, orang yang mendapatkan harta tidak sepenuhnya memiliki harta tersebut, ada hak-hak orang lain pada harta yang dikuasainya, karena itu hak-hak tersebut harus diberikan setiap waktu sesuai dengan ketentuan syari’at. Dengan demikian, jika zakat dilaksanakan dengan baik, maka kemiskinan di kalangan umat Islam akan dapat dikurangi, bahkan mungkin dihapuskan.

5) Haji dan Umrah
                     Menurut bahasa kata hajj berarti bermaksud mengunjungi sesuatu (al Qashdu lizziarah) dan menurut syariat Islam berarti mengunjungi baitullah untuk menjalani ibadah (iqamatan linnusuki) (Muhammad Ali, 1980:341). Haji merupakan ritual yang sudah dikenal sejak masa jahiliyah kemudian disempurnakan sesuai dengan ajaran Islam. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.S 2: 196 yang terjemahannya sebagai berikut.
                     Dan sempurnakanlah haji dan umrah karena Allah (Depag. R.I, 1984:47).
                     Ayat ini mengindikasikan bahwa ibadah haji itu sudah dikenal sejak masa-masa sebelum Islam. Ibadah haji yang disyariatkan dalam Islam mengacu pada ibadah haji yang pernah dilakukan oleh Babi Ibrahim AS (Q.S 16:120-123; Q.S 2:125-129).
                     Haji sebagai salah satu rukun Islam, wajib dilakukan oleh orang-orang yang mampu satu kali seumur hidup. Kewjiban ini didasarkan pada firman Allah SWT dalam Q.S 3: 97 yang terjemahannya sebagai berikut.

“Mengerjakan ibadah haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah yaitu (bagi) orang yang mampu melaksanakan perjalanan ke Baitullah”. (Depag. R.I, 1984: 92).

                     Alasan lainnya adalah firman Allah SWT dalam Q.S 2:196-197, Q.S 22: 27-28, sedangkan ibadah haji wajib bagi setiap muslim yang mampu satu kali seumur hidup sebagaimana sabda Rasulullah SAW (terjemahannya):

“Haji satu kali, maka apabila lebih dari itu adalah sunat”. (HR. Ahmad, Abu Daud, Nasa’I dan dishahihkan oleh Hakim (Said Sabiq Fiqh Sunnah V (terj) 1987:40).

                     Pelaksanaan ibadah haji dapat dilakukan dengan tiga cara yang berikut ini .
         (a)  Haji Tamattu’, yaitu melaksanakan umrah terlebih dahulu, dan setelah tahallul umrah memotong seekor kambing di Mina, seandainya tidak mampu diganti dengan puasa sepuluh hari, yang dilaksanakan 3 hari di tanah suci dan 7 hari di tanah airnya.
         (b)  Haji Ifrad, yaitu melaksanakan haji terlebih dahulu. Setelah melakukan tawaf qudum (tawaf kedatangan di Mekah) dengan berpakaian ihram dan tidak bertahallul langsung melaksanakan ibadah haji, umrah dilaksanakan sesudah melaksanakan haji.
         (c) Haji Qiran, yaitu ibadah haji dan umrah sekaligus. Seperti halnya bagi yang melaksanakan haji tamattu’, maka haji qiran perlu diwajibkan memotong kambing.
                    
                     Ibadah haji memiliki hikmah yang banyak. Di antara hikmah ibadah haji adalah mendidik jiwa untuk mau berkorban, ikhlas, dan sabar karena dalam ibadah haji semua sifat-sifat itu dituntut, dalam pelaksanaanya ibadah haji mempunyai ketentuan dan aturan yang ketat karena aturan-aturan itu akan berpengaruh kepada sistem dalam beribadah. Ibadah haji juga merupakan tempat pengembangan sosialisasi yang dapat menimbulakn proses pendidikan dalam kehidupan bersama dengan persatuan dan persaudaraan, sehingga hidup dapat lebih bermakna untuk mencapai kemuliaan yang hakiki.

b. Ibadah dalam Arti yang Umum (‘Ibadah Ghairu Mahdhah)
               adalah segala aktivitas mukmin yang sesuai dengan keinginan Allah SWT dikerjakan dengan ikhlas dan dalam rangka mencari ridha Allah SWT. Ibadah ghairu mahdhah ini disebut juga dengan muamalah dalam arti luas.
               Amir Syarifuddin membagi hokum muamlah ini menjadi berikut ini.
(a)    Hukum muamalah dalam arti yang khusus
(b)   Hukum munakahat (perkawinan)
(c)    Hukum mawaris dan wasiat
(d)   Hukum jinayah (pidana)
(e)    Hukum murafa’at atau hokum qadha disebut juga dengan hokum acara
(f)    Hukum tata Negara
(g)   Hukum internasional
(Amir Syarifuddin I, 1997: 71-72)

Berikut ini dijelaskan satu persatu secara singkat.

1)      Muamalah
               Hukum muamalah dalam arti yang khusus adalah hukm-hukum perdata seperti jual beli, pinjam meminjam, sewa menyewa dan transaksi serta lainnya, yang antara lain firman Allah SWT dalam Q.S 2:275 yang terjemahannya sebagai berikut.

“Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (Depag. R.I, 1984: 69).

2)   Munakahat
               Hukum munakahat yaitu hokum yang mengatur mengenai perkawinan dan hal-hal yang berhubungan dengannya seperti talak, rujuk, pemeliharaan anak dan lain-lain dengan dasar firman Allah dalam Q.S 30:21 yang terjemahannya sebagai berikut.

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan jadikan dia di antaramu rasa kasih dan saying. Sesungguhnya yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berpikir”. (Depag. R.I, 1984:644).

3) Mawaris dan Wasiat
            Hukum mawaris dan wasiat yaitu hokum yang mengatur perpindahan dan pembagian harta karena adanya kematian. Sumber-sumber hokum mawaris dalam quran antara lain firman Allah SWT dalam Q.S 4:7 yang terjemahannya sebagai berikut.

“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapa dan kerabatnya, dan bagi perempuan ada pula bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.” (Depag. R.I, 1984 :116).

            Masalah waris ini juga terdapat dalam Q.S 4 : 11, 12 dan 176.

4)   Hukum Pidana (Jinayah)
               Hukum jinayah adalah hokum yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dalam rangka pencegahan kejahatan seperti pembunuhanm pencurian, dan perzinaan beserta sanksinya. Firman Allah SWT antara lain dalam Q.S 17:33 yang terjemahannya sebagai berikut.

“Dan janganlah kamu membunuh yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan jalan kebenaran.” (Depag. R.I, 1984:429).
        
            Firman Allah SWT lainnya antara lain di dalam Q.S 4 :93 mengenai pembunuhan   , Q.S 2:178 mengenai jenis-jenis hukuman, Q.S 5:38 mengenai pencurian, Q.S 5:33 mengenai perampokan, Q.S 5:90-91 mengenai meminum minuman keras dan Q.S 24:2 dan lainnya.

5)   Hukum Murafa’at
               Hokum murafa’at atau hokum acara adalah hokum yang berkaitan dengan usaha penyelesaian akibat kejahatan di pengadilan seperti kesaksian, gugatan dan pembuktian. Masalah kesaksian ini antara lain dalam firman Allah dalam Q.S 2 :282 yang terjemahannya sebagai berikut.

“Dan tidaklah kamu menetapkan dua orang saksi dari kaum laki-laki”. (Depag. R.I, 1984: 70).

6) Siyasah
            Siyasah terambil dari akar kata yaitu sasa-yasusu, yang berarti mengemudikan, mengendalikan, mengatur, dan sebagainya (Quraish Shihab, 1999:416).

7)   Hukum tata negara
            Hukum tata Negara adalah hukm yang mengatur kehidupan masyarakat dan bernegara. Firman Allah SWT antara lain dalam Q.S 4 :34 dan Q.S 9:71.

Laki-laki adalah pelindung perempuan (Depag. R.I, 1984:123).
“Orang-orang yang beriman laki-laki dan perempuan sebahagian mereka adalah pemimpin bagi yang lain. Mereka menyuruh mengerjakan yang baik dan melarang dari yang mungkar”. (Depag. R.I, 1984:291).

8)   Hukum Internasional
               Hokum internasional adalah hokum yang mengatur hubungan warga Negara dengan Negara lain seperti tawanan, perang, perjanjian, rampasan perang dan lainnya.
               Firman Allah SWT dalam Q.S 8:56-58 yang terjemahannya sebagai berikut.
“(Yaitu) orang-orang yang kamu telah mengambil perjanjian dari mereka, sesudah itu mereka mengkhianati janjinya pada setiap kalinya, dan mereka tidak takut (akibat-akibatnya). Jika kamu menemui mereka dalam peperangan. Maka cerai berailahorang-orang yang dibelakang mereka dengan (menumpas) mereka, supaya mereka mengambil pelajaran. Dan jika kamu khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat “. (Depag. R.I, 1984:270).
               Dan firman Allah SWT dalam Q.S 8:62-63 yang terjemahannya sebagai berikut.
“Dan jika mereka bermaksud hendak menipumu, maka sesungguhnya cukuplah Allah (menjadi pelindung). Dialah yang memperkuat dengan pertolongan-Nya dan dengan para mu’min, dan Yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (Depag. R.I, 1984:271).