mernyataan bahwa Al Qur’an itu bebas tafsir erat kaitannya dengan bahasan at tafsir bir ra’yi (penafsiran Al Qur’an dengan opini). Karena jika Al Qur’an dikatakan bebas tafsir artinya semua orang bebas untuk memaknai dan menafsirkan Al Qur’an dengan opini mereka masing-masing dan pemahaman masing-masing yang keluar dari benak mereka. Apakah yang demikian dibenarkan?
Pengertian at tafsir bir ra’yi
At tafsir bir ra’yi artinya penafsiran seseorang dalam menjelaskan makna-makna Al Qur’an dengan suatu pemahaman khusus yang hanya berlandaskan dengan ra’yu (opini) semata
Tafsir dengan semata-mata opini adalah “langganannya” orang-orang menyimpang dari ahlul bid’ah dan munafiqin. Syaikh Manna’ Al Qathan menjelaskan, “Mayoritas yang menggunakan metode ini adalah ahlul bid’ah yang meyakini keyakinan-keyakinan batil. Mereka berbuat lancang terhadap Al Qur’an dengan menafsirkannya seseuai opini mereka, dan mereka dalam hal ini tidak memiliki teladan dari para sahabat Nabi juga para tabi’in., baik dalam pendapat-pendapat mereka maupun dalam tafsir-tafsir mereka. Mereka telah menulis beberapa tafsir yang dibangun di atas pemikiran yang demikian, seperti Tafsir Abdurrahman bin Kaisan Al Asham, Tafsir Al Jubba’i, Tafsir Abdul Jabbar, Tafsir Ar Rummani, Tafsir Zamakhsyari, dan semisalnya”
Tafsir-tafsir yang demikian terkadang “menyihir” pembacanya dengan menggunakan ungkapan-ungkapan yang indah dan seolah “menyejukkan” hati yang membacanya namun di balik itu semua ada pemikiran dan keyakinan yang batil diselipkan. Disebutkan Syaikh Manna’ Al Qathan, “Diantara mereka ada yang menggunakan ungkapan-ungkapan yang indah yang menyamarkan madzhab batil mereka yang membuatnya laris di kalangan masyarakat. Sebagaimana yang dilakukan penulis tafsir Al Kasyaf dalam menyelipkan aqidah mu’tazilah di dalamnya”
Hukum at tafsir bir ra’yi
Menafsirkan Al Qur’an semata-mata dengan akal dan opini tanpa landasan ilmu yang benar, hukumnya haram dan terlarang melakukannya. Allah Ta’ala berfirman:
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya” (QS. Al Isra: 36).
Dari Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:
من قال في القرآن بغير علم فليتبوأ مقعده من النار
“barangsiapa yang berkata tentang Al Qur’an tanpa ilmu maka siapkanlah tempat duduknya di neraka”
Juga diriwayatkan dari Jundab bin Abdillah radhiallahu’anhu:
من قال في القرآن برأيه فأصاب فقد أخطأ
“barang siapa siapa yang berkata tentang Al Qur’an sebatas dengan opininya, lalu kebetulan ia benar, maka ia tetap salah”
Oleh karena itu kita lihat generasi terbaik umat Islam yaitu para sahabat Nabi, para tabi’in, dan tabiut tabi’in, mereka tidak berani menafsirkan Al Qur’an jika mereka tidak tahu tafsirnya.
Abu Bakar Ash Shiddiq radhiallahu’anhu pernah ditanyan mengenai makna abban atau al abb dalam surat Abasa ayat 31: وَفَاكِهَةً وَأَبًّا, namun Abu Bakar mengatakan:
أي سماء تظلني؟ و أي أرض تقلني؟ إذا قلت في كلام الله ما لا أعلم
“Langit mana yang akan menaungiku? Bumi mana yang akan menopangku? Jika aku berkata tentang kalamullah yang aku tidak ketahui (tafsirnya)”
Suatu kala Sa’id bin Musayyib ditanya mengenai tafsir sebuah ayat, beliau mengatakan:
إنا لا نقول في القران شيئا
“kami tidak (berani) beropini sedikit pun mengenai tafsir Al Qur’an”
Beliau katakan demikian karena tidak tahu mengenai tafsir ayat tersebut.
Ath Thabari mengatakan: “Kabar-kabar dari para salaf ini bukti benarnya penyataan kami bahwa penafsiran ayat Al Qur’an tidak bisa diketahui ilmunya kecuali dengan penjelasan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, atau dengan adanya dalil yang mendukungnya. Tidak boleh seorang pun berkata tentang tafsirnya hanya dengan opininya. Jika kebetulan perkataannya benar, maka ia tetap salah atas perbuatannya yang berani bicara mengenai tafsir dengan semata opini. Karena perkataannya yang benar tersebut bukanlah kebenaran yang benar-benar ia yakini kebenarannya, melainkan hanya kira-kira dan sangkaan saja. Dan orang yang berbicara masalah agama dengan modal sangkaan, sama saja ia berbicara tentang Allah tanpa ilmu. Dan Allah telah melarang hal itu terhadap hamba-Nya. Allah berfirman:
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ
“Katakanlah: “Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui”(QS. Al A’raf: 33)”
Dengan demikian jelaslah bahwa menafsirkan Al Qur’an dengan semata-mata akal dan opini adalah terlarang dan bukanlah teladan dari para salafus shalih.
Untuk lebih memperluas pemahaman, berikut ini kami sertakan penjelasan rinci para ulama mengenai masalah ini:
Penjelasan Dewan Fatwa Islam Web
Mereka ditanya, “Salah seorang khatib ia memulai ceramahnya dengan menyebutkan larang bagi orang awam (yang tidak memiliki ilmu dan tidak biasa membaca kitab rujukan) untuk berdalam-dalam membahas makna Al Qur’an. Namun pernyataan tersebut diikuti dengan perkataan yang menurut saya aneh, yaitu ia mengatakan bahwa orang awam jika mengatakan sesuatu tentang Al Qur’an lalu kebetulan ia benar, maka ia tetap berdosa. Artinya, jika ia salah ia berdosa, benar pun ia berdosa. Sedangkan seorang mufti yang berilmu ia mendapatkan pahala jika ia benar ataupun jika ia salah. Apakah pernyataan ini benar? Mohon penjelasannya”.
Mereka menjawab:
“Pernyataan khatib tersebut benar. Karena orang awam tidak boleh berbicara tentang Al Qur’an dengan semata-mata opininya saja, tanpa bersandar kepada kitab tafsir rujukan atau dalil. At Tirmidzi dalam Sunan-nya membuat bab: Maa Ja’a fil Ladzi Yufassirul Qur’an Bira’yihi (Bab tentang orang yang menafsirkan Al Qur’an dengan opininya). Di dalam bab tersebut beliau membawakan hadits dari Ibnu Abbas radhiallahu’ahuma bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
من قال في القرآن بغير علم فليتبوأ مقعده من النار
“barangsiapa yang berkata tentang Al Qur’an tanpa ilmu maka siapkanlah tempat duduknya di neraka”.
At Tirmidzi mengatakan: “hadits ini hasan shahih”.
Beliau juga mengeluarkan hadits dari Jundab bin Abdillah radhiallahu ‘anhu :
من قال في القرآن برأيه فأصاب فقد أخطأ
“barang siapa siapa yang berkata tentang Al Qur’an sebatas dengan opininya, lalu kebetulan ia benar, maka ia tetap salah”.
At Tirmidzi lalu mengatakan:
كذا روي عن بعض أهل العلم من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم وغيرهم أنهم شددوا في هذا في أن يفسر القرآن بغير علم
“perkataan semisal ini juga diriwayatkan dari sebagian ahlul ilmi di kalangan para sahabat Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan yang selain mereka, yaitu bahwa mereka sangat keras terhadap perbuatan menafsirkan Al Qur’an tanpa ilmu”.
Penulis Tuhfatul Ahwadzi mengatakan:
من قال في القرآن برأيه أي بغير دليل يقيني أو ظني نقلي أو عقلي مطابق للشرعي قاله القاري … (ومن قال) أي من تكلم (في القرآن) أي في معناه أو قراءته (برأيه) أي من تلقاء نفسه من غير تتبع أقوال الأئمة من أهل اللغة والعربية المطابقة للقواعد الشرعية بل بحسب ما يقتضيه عقله وهو مما يتوقف على النقل. وقوله (من قال في القرآن) أي في لفظه أو معناه (برأيه) أي بعقله المجرد (فأصاب) أي ولو صار مصيباً بحسب الاتفاق (فقد أخطأ) أي فهو مخطئ بحسب الحكم الشرعي.
“Yang dimaksud menafsirkan Al Qur’an dengan ra’yu (opini) adalah menafsirkan Al Qur’an dengan tanpa dalil yaqini atau dalil zhanni, baik dalil naqli maupun aqli (baca: qiyas) yang sesuai dengan syari’at. Ali Al Qari menjelaskan (dalam menafsirkan hadits Ibnu Abbas): [barangsiapa yang berkata] maksudnya menjelaskan sesuatu.[dalam Al Qur’an] maksudnya mengenai makna-makna Al Qur’an dan qira’ah-nya. [dengan opininya] maksudnya dengan pandangan yang ada di benaknya tanpa berusaha mencari-cari penjelasan para ulama yang ahli bahasa Arab dan penjelasan para ulama yang sesuai dengan kaidah-kaidah syariyyah. Bahkan ia hanya mencukupkan diri dengan apa yang muncul dari akalnya karena tidak ada pengetahuan tentang dalil naqli. Dan hadits [barangsiapa yang berkata tentan Al Qur’an] maksudnya tentang lafadz dan maknanya [dengan opininya] yaitu dengan akalnya semata [lalu ia benar] yaitu ia benar karena kebetulan [maka ia tetap salah]maksudnya ia tetap salah dalam tinjauan hukum syar’i”.
Ibnu Hajar menjelaskan:
اي أخطأ طريقة الاستقامة بخوضه في كتاب الله تعالى بالتخمين والحدس لتعديه بهذا الخوض مع عدم استجماعه لشروطه فكان آثماً به مطلقا ولم يعتد بموافقته للصواب لأنها ليست عن قصد ولا تحر، بخلاف من كملت فيه آلات للتفسير فإنه مأجور بخوضه فيه وإن أخطأ لأنه لا تعدي منه فكان مأجورا أجرين كما في رواية، أو عشرة أجور كما في أخرى إن أصاب، وأجر إن أخطأ كالمجتهد لأنه بذل وسعه في طلب الحق واضطره الدليل إلى ما رآه فلم يكن منه تقصير بوجه .
“Maksudnya ia telah menyalahi jalan yang lurus karena telah menafsirkan kitab Allah Ta’ala dengan menebak-nebak dan menerka maknanya, dan karena kelancangannya atas perbuatan tersebut, tanpa mengumpulkan syarat-syarat yang harus dimiliki seorang yang hendak menafsirkan Qur’an. Maka ia berdosa secara mutlak dan tidak dianggap perkataannya yang kebetulan betul karena itu hanya sekedar kebetulan dan bukan karena adanya usaha yang benar. Berbeda dengan orang yang telah terkumpul padanya syarat-syarat penafsir Qur’an, maka ia mendapatkan pahala jika menafsirkannya walaupun ia salah. Karena kesalahannya tersebut bukan karena kelancangan. Maka jika tafsirannya benar, ia mendapatkan dua pahala sebagaimana dalam suatu riwayat atau 10 pahala dalam riwayat yang lain. Dan jika tafsirannya salah, ia mendapatkan satu pahala, sebagaimana seorang mujtahid. Karena ia telah mengerahkan daya upayanya untuk mencari kebenaran dan ia telah mengolah dalil sebatas yang sesuai dengan yang mereka pahami, maka dari sisi ini pada diri mereka tidak ada sikap peremehan”.
Maka dari sini jelas bahwa seorang yang jahil tidak boleh berbicara mengenai Al Qur’an dengan semata-mata opininya. Adapun jika ia :
menukil perkataan yang ia dengan dari ulama
atau menukil tafsiran dari kitab rujukan yang dijadikan pegangan dalam ilmu tafsir,
atau ia berbicara mengenai perkara yang dharuri (sudah dipahami umumnya orang secara gamblang) semisal ia berdalil dengan ayat Qur’an tentang wajibnya shalat, atau tentang wajibnya amar ma’ruf nahi mungkar, dan perkara-perkara semisal yang secara gamblang telah diketahui semua orang, untuk sebatas berdalil bukan menafsirkan makna per maknanya
maka ini semua tidak mengapa. Berdasarkan perkataan Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma sebagaimana yang diriwayatkan oleh As Suyuthi dalam kitab Ad Durr:
تفسير القرآن على أربعة وجوه : تفسير يعلمه العلماء . وتفسير لا يعذر الناس بجهالته من حلال أو حرام . وتفسير تعرفه العرب بلغتها . وتفسير لا يعلمه إلا الله، فمن ادعى علمه فهو كاذب
“Tafsir Al Qur’an ada empat macam: [1] Tafsir yang hanya diketahui para ulama, [2] Tafsir yang semua orang tidak diberi udzur untuk mengaku tidak paham, berupa hukum halam dan haram, [3] Tafsir yang bisa diketahui oleh orang Arab dengan bahasanya, [4] Tafsir yang hanya diketahui oleh Allah, sehingga barangsiapa ada yang mengaku mengetahuinya maka ia seorang pendusta”.
Wallahu A’lam”
Penjelasan Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan
Beliau mengatakan: “bahkan sebagian orang berbuat melebihi batas dalam menafsirkan Al Qur’an yaitu dengan menafsirkannya menggunakan falsafah kontemporer dan teori-teori sains. Ini adalah sikap lancang terhadap Al Qur’an. Lalu ketika hasil tafsiran tersebut sesuai dengan pendapat mereka, merekapun menamakan fenomena tersebut dengan ‘keajaiban ilmiah’. Ini adalah kesalahan besar kerena tidak boleh menafsirkan Al Qur’an dengan falsafah dan teori-teori demikian karena semua itu senantiasa berubah-ubah dan saling mendustakan satu dengan lainnya. Sedangkan Al Qur’an itu haq, makna-makna Al Qur’an juga haq, tidak ada pertentangan di dalamnya. Dan tidak berubah makna-maknanya dengan berjalannya waktu. Adapun pemikiran-pemikiran manusia dan info-info yang mereka miliki itu terkadang benar dan terkadang salah. Bahkan salahnya lebih banyak daripada benarnya. Betapa banyak teori yang hari ini dianggap benar namun di masa depan akan didustakan (dianggap salah). Maka tidak boleh mengait-ngaitkan Al Qur’an dengan teori-teori buatan manusia dan ilmu-ilmu buatan manusia yang sifatnya masih zhan, samar, penuh keraguan dan saling bertentangan.
Ilmu tafsir Qur’an memiliki kaidah-kaidah yang dikenal di kalangan ulama syari’at. Tidak boleh melangkahi kaidah-kaidah tersebut dan tidak menafsirkan Al Qur’an dengan tafsiran yang menerapkan kaidah-kaidah tersebut. Diantara kaidah tersebut adalah:
Menafsirkan Al Qur’an dengan Al Qur’an. Ayat-ayat yang mujmal (umum) diperinci lagi oleh ayat yang lain. Ayat-ayat yang muthlaq disebutkan secara muqayyad pada ayat yang lain.
Jika tafsir suatu ayat tidak terdapat pada ayat yang lain, maka cari penafsirannya pada sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Karena As Sunnah adalah penjelas Al Qur’an. Allah Ta’ala berfirman kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”(QS. An Nahl: 44).
Jika tafsir ayat tersebut tidak terdapat pada As Sunnah, maka cari tafsirnya dari penjelasan para Sahabat Nabi. Karena merekalah yang paling mengetahui hal tersebut, dikarenakan para sahabat lah yang membersamai Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan Rasulullah telah mengajarkan ilmu-ilmu kepada mereka secara langsung termasuk juga mengajarkan Al Qur’an beserta tafsirnya secara talaqqi kepada mereka. Sampai-sampai diantara mereka ada yang mengatakan:
ما كنا نتجاوز عشر آيات حتى نعرف معانيهن والعمل بهن
“kami tidak melewati 10 ayat sampai kami mengetahui makna-maknanya dan mengamalkannya”
Jika tafsir ayat tersebut tidak terdapat pada penjelasan Sahabat Nabi, maka para imam kaum Muslimin merujuk pada penjelasan para tabi’in. Karena mereka menerima pengajaran ilmu dari para sahabat Nabi. Tafsiran yang diperselisihkan oleh para tabi’in dikembalikan juga kepada kaidah-kaidah bahasa Arab yang dengannya Al Qur’an diturunkan.
Penafsiran Al Qur’an tanpa mengikuti empat kaidah di atas, tidaklah diperbolehkan. Maka menafsirkan Al Qur’an dengan teori-teori kontemporer, dengan perkataan para dokter, pakar geografi, pakar astronomi, para pakar-pakar di televisi, ini semua batil dan tidak diperbolehkan. Karena ini adalah tafsir bir ra’yi (penafsiran dengan opini) dan hukumnya haram dengan keharaman yang fatal. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:
من قال في القرآن برأيه وبما لا يعلم فليتبوأ مقعدهمن النار
“barangsiapa yang berkata tentang Al Qur’an dengan opininya dan dengan tanpa ilmu maka siapkanlah tempat duduknya di neraka” (HR. Ibnu Jarir, At Tirmidzi dan An Nasa’i).
Dalam riwayat lain:
من قال في القرآن برأيه فأصاب فقد أخطأ
“barang siapa siapa yang berkata tentang Al Qur’an sebatas dengan opininya, lalu kebetulan ia benar, maka ia tetap salah””
Kesimpulan
Menafsirkan Al Qur’an semata-mata dengan akal dan opini tanpa landasan ilmu yang benar, hukumnya haram dan terlarang melakukannya. Menafsirkan Al Qur’an yang benar adalah menafsirkannya dengan ayat Al Qur’an yang lain, jika tidak terdapat pada ayat yang lain, maka cari penafsirannya pada As Sunnah, jika tidak terdapat pada As Sunnah, maka cari tafsirnya dari penjelasan para Sahabat Nabi, jika tidak terdapat pada penjelasan sahabat Nabi, maka merujuk pada penjelasan para tabi’in, jika tabi’in berselisih maka diambil pendapat terkuat yang sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan kaidah tafsir.
Semoga yang sedikit ini bermanfaat. Alhamdulillahilladzi bini’matihi tatimmshalihaat.
***
Penyusun: Yulian Purnama
Artikel Al-inaya.blogspot.com
____
HR. At Tirmidzi 2950. Hadits ini diperslisihkan statusnya oleh para muhadditsin. At Tirmidzi berkata: “hasan shahih”. Namun yang tepat, hadits ini lemah karena terdapat perawi Abdul A’la Ats Tsa’labi yang statusnya dha’iful hadits. Hadits ini didhaifkan oleh Al Albani dalam Silsilah Ahadits Dha’ifah (1783), Ahmad Syakir dalamTa’liq Musnad Ahmad (3/341), dan para muhaqqiq lainnya. Namun hadits ini shahih secara mauquf dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu’anhu, dan dihukumi marfu’ karena isinya adalah hal yang tidak ada ruang untuk berijtihad. Sehingga hadits ini bisa digunakan untuk berhujjah. Selain itu, Syaikh Ibnu Baz dalam Fawaid Ilmiyah min Durus Baziyah (8/111) mengatakan: “hadits ini terdapat kelemahan, namun maknanya benar”
HR. Tirmidzi no. 2952. Hadits ini juga diperselisihkan statusnya, dihasankan oleh sebagian ulama, namun yang tepat ia adalah hadits yang lemah karena terdapat Suhail bin Abi Hazm, perawi yang lemah.Syaikh Ibnu Baz dalam Fawaid Ilmiyah min Durus Baziyah (8/111) mengatakan: “mengenai derajat hadits ini ada perselisihan yang ringan, namun maknanya benar”
Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf, dinukil dari Mabahits fi Ulumil Qur’an, 352
Diriwayatkan oleh Malik dalam Al Muwatha, dinukil dari Mabahits fi Ulumil Qur’an, 352
Tafsir Ath Thabari 1/78-79, dinukil dari dinukil dari Mabahits fi Ulumil Qur’an, 352-353