Saturday, July 21, 2018

Hukum Mengistimewakan Hari Lahir dengan Perayaan Ulang Tahun

Sebagai akibat semakin jauhnya umat Islam ini dari ajaran agama, maka banyak perkara yang mereka anggap sebagai masalah yang remeh dan ringan. Seolah-olah perkara tersebut sebagai hal yang biasa saja dan tidak membahayakan agama mereka. Di antaranya adalah perayaan ulang tahun yang diselenggarakan setiap tahunnya. Tidak hanya di kantor atau sekolah, perayaan ulang tahun juga banyak diselenggarakan di kampung-kampung. Dan lebih menyedihkan lagi, sebagiannya dibalut dengan acara keagamaan semacam pengajian, syukuran, doa bersama, dan sebagainya.


Sebagai umat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, hendaklah kita menjadikan petunjuk beliau sebagai sebaik-baik petunjuk yang berusaha kita amalkan dalam kehidupan kita sehari-hari. Berkaitan dengan perayaan ulang tahun, perayaan tersebut tidak terlepas dari dua kemungkinan berikut ini, yang apa pun bentuknya, sama-sama terlarang bagi kita untuk melakukannya.

Kondisi pertama: Menganggap perayaan ulang tahun sebagai bentuk ibadah dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala

Kondisi (kemungkinan) pertama adalah merayakan ulang tahun dengan melakukan ibadah secara khusus, misalnya dengan bersedekah mengundang anak yatim, mentraktir makan, berdoa secara khusus di hari ulang tahun dengan mengundang orang yang dianggap shalih, berdzikir, memohon ampun (istighfar), atau bentuk-bentuk ibadah lainnya yang secara khusus lebih semangat dikerjakan di hari ulang tahun, dibandingkan hari-hari biasa lainnya.

Jika demikian kondisinya, perayaan semacam ini termasuk dalam kategori bid’ah, karena berarti mengada-adakan ibadah yang tidak pernah diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya tidak pernah mengajarkan dan mencontohkan untuk mengkhusukan ibadah apa pun dalam rangka memuliakan, memperingati dan mengagungkan hari lahir.

Syaikh Shalih bin ‘Abdul ‘Aziz Alu Syaikh hafidzahullahu Ta’ala berkata,

“Sesungguhnya hal itu (perayaan ulang tahun, tahun baru, dan sebagainya) adalah bid’ah yang tidak disyariatkan. Perayaan-perayaan itu hanyalah dibuat oleh manusia menurut hawa nafsu mereka. Berbagai macam perayaan (‘id) dan apa yang terdapat di dalamnya berupa rasa senang dan gembira, termasuk dalam bab ibadah. Maka tidak boleh mengada-adakan sesuatu apa pun di dalam ibadah, tidak (boleh) pula menetapkan dan meridhainya (tanpa ada dalil dari syariat, pen.).” (Al-Minzhaar, hal. 19)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa yang melakukan amal (ibadah) yang bukan berasal dari (ajaran) kami, maka amal tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718)

Dalam riwayat yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa yang mengada-adakan suatu perkara baru dalam urusan (agama) kami, yang tidak ada asal usulnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718)

Berbuat kebid’ahan bukanlah perkara yang remeh dan ringan, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengancam pelakunya dengan neraka, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ، إِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ، وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ، وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ، وَكُلُّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ

“Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, tidak ada yang bisa menyesatkannya. Dan barangsiapa yang disesatkan oleh Allah, tidak ada yang bisa memberi petunjuk kepadanya. Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan sejelek-jelek perkara adalah (perkara agama) yang diada-adakan, setiap (perkara agama) yang diada-adakan itu adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan dan setiap kesesatan tempatnya di neraka.” (HR. An-Nasa’i no. 1578, shahih)

Selain itu, syariat Islam telah menetapkan hari-hari tertentu sebagai hari ‘id, yaitu hari ‘Arafah (9 Dzulhijjah), hari raya Idul Adha (10 Dzulhijjah), hari tasyrik (11, 12 dan 13 Dzulhijjah), hari raya ‘Idul Fithri (1 Syawwal), dan hari Jum’at (untuk setiap pekan). Hari ‘id adalah hari tertentu yang dirayakan secara berulang dengan menampakkan kegembiraan dan sejenisnya.

Dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ يَوْمَ عَرَفَةَ وَيَوْمَ النَّحْرِ وَأَيَّامَ التَّشْرِيقِ عِيدُنَا أَهْلَ الْإِسْلَامِ، وَهِيَ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ

“Sesungguhnya hari ‘Arafah, hari Nahr (hari raya Idul Adha, 10 Dzulhijjah), dan hari tasyriq adalah hari ‘id kita, umat Islam, yaitu hari makan dan minum.” (HR. Abu Dawud no. 2419, Tirmidzi no. 773 dan An-Nasa’i no. 3004, hadits shahih)

Dalam hadits yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu,

يَا أَبَا بَكْرٍ، إِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيدًا وَهَذَا عِيدُنَا

“Wahai Abu Bakr, sesungguhnya setiap kaum memiliki hari ‘id, dan inilah ‘id kita (yaitu umat Islam, pen.).” (HR. Bukhari no. 952 dan Muslim no. 892)

Berkaitan dengan hadits di atas, Syaikh Shalih bin ‘Abdul ‘Aziz Alu Syaikh hafidzahullahu Ta’ala berkata,

“Disandarkannya ‘id (dengan Islam) adalah dalil tentang dikhususkannya ‘id sebagai bagian dari agama (Islam).” (Al-Minzhaar, hal. 19)

Artinya, perayaan selainnya yang tidak ditetapkan oleh syariat Islam, tidak termasuk dari Islam.

Oleh karena itu, mengkhususkan hari ulang tahun sebagai ‘id (perayaan yang berulang setiap tahunnya) jelas-jelas bukan termasuk dalam bagian agama Islam, alias bid’ah dalam bentuk semacam ini.

Betapa ruginya kita, ketika kita habiskan waktu, biaya dan tenaga yang tidak sedikit untuk merayakan ulang tahun, namun tidak ada faidahnya sedikit pun, dan justru membahayakan agama kita sendiri.

Kondisi ke dua: Menganggap perayaan ulang tahun sebagai bentuk adat kebiasaan semata, hanya sebagai sarana untuk senang-senang dan tidak dalam rangka ibadah

Bentuk (kemungkinan) ke dua, yaitu menjadikan perayaan ulang tahun hanya sebagai bentuk senang-senang semata, dan tidak menyandarkannya sebagai bagian dari agama atau tidak menjadikannya sebagai ibadah.

Sebagian orang menyangka bahwa jika perayaan ulang tahun itu tidak dimaksudkan untuk ibadah, maka diperbolehkan. Ini adalah anggapan yang salah dan keliru. Karena meskipun perayaan ulang tahun tidak dimaksudkan untuk ibadah, perayaan tersebut tetap terlarang. Hal ini berdasarkan riwayat dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

لِأَهْلِ الْجَاهِلِيَّةِ يَوْمَانِ فِي كُلِّ سَنَةٍ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَلَمَّا قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ قَالَ كَانَ لَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا وَقَدْ أَبْدَلَكُمْ اللَّهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ الْأَضْحَى

“Dahulu orang-orang Jahiliyyah memiliki dua hari di setiap tahun, dimana mereka biasa bersenang-senang ketika itu. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke kota Madinah, beliau bersabda, “Dahulu kalian memiliki dua hari di mana kalian bersenang-senang ketika itu. Sekarang, Allah telah menggantikan untuk kalian dengan dua hari besar yang lebih baik, yaitu ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha.” (HR. Abu Dawud no. 1134 dan An-Nasa’i no. 1556)

Berdasarkan hadits di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang penduduk Madinah untuk menjadikan dua hari khusus setiap tahunnya untuk sekedar bergembira dan bersenang-senang. Dan kebiasaan penduduk Jahiliyyah tersebut sama persis dengan kebiasaan orang-orang sekarang yang mengkhususkan hari lahir di setiap tahunnya untuk bersenang-senang dengan membuat kue ulang tahun, pesta, makan-makan di restoran, dan bentuk bersenang-senang yang lainnya.

Para ulama menjelaskan bahwa sebab adanya larangan untuk menjadikan hari tertentu sebagai ‘id adalah,

قصد تعظيم زمن معين

“Bermasksud untuk mengagungkan (memuliakan dan mengistimewakan) suatu hari tertentu.”

Artinya, tidak boleh bagi kita untuk mengistimewakan, mengagungkan dan memuliakan hari tertentu, baik dengan menampakkan kegembiraan (senang-senang) atau melakukan ritual ibadah khusus, kecuali ada dalil penetapannya dari syariat.

Ketika menjelaskan kesalahan sebagian orang yang mengkhususkan hari tertentu untuk beribadah padahal tidak ada asal-usulnya sama sekali dari syariat, semacam hari Kamis pertama setiap bulan Rajab, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu Ta’ala berkata

والصواب الذي عليه المحققون من أهل العلم: النهي عن إفراد هذا اليوم  بالصوم، وعن هذه الصلاة المحدثة، وعن كل ما فيه تعظيم لهذا اليوم ن صنعة الأطعمة، وإظهار الزينة، ونحو ذلك حتى يكون هذا اليوم بمنزلة غيره من الأيام، وحتى لا يكون له مزية أصلًا

“Pendapat yang benar sebagaimana yang dipegang oleh para ulama peneliti, adanya larang mengkhususkan hari tersebut dengan berpuasa, dengan shalat yang diada-adakan (yaitu shalat yang disebut dengan shalat raghaib, pen.), dan segala bentuk pengagungan terhadap hari tersebut, baik berupa membuat makanan, menampakkan perhiasan (pakaian istimewa yang tidak biasa dipakai di hari lainnya, pen.), dan semacamnya, sampai hari tersebut memiliki kedudukan yang sama dengan hari-hari lainnya, dan sampai hari tersebut tidak memiliki keistimewaan tertentu bagi dirinya sama sekali.” (Al-Iqtidha’, 2: 121-122)

Dalam perayaan ulang tahun, terkandung unsur menyerupai orang kafir

Alasan lain terlarangnya perayaan ulang tahun adalah bahwa di dalam perayaan ulang tahun terdapat unsur menyerupai orang-orang kafir dalam hal yang menjadi ciri khas mereka, yaitu membuat-buat berbagai macam ‘id yang tidak pernah disyariatkan. Sedangkan syariat kita yang mulia, telah melarang untuk menyerupai (tasyabbuh) dengan orang kafir.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

”Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Abu Dawud no. 4031, hadits shahih).

Syaikh Shalih bin ‘Abdul ‘Aziz Alu Syaikh hafidzahullahu Ta’ala berkata,

“Sesungguhnya perayaan tersebut (ulang tahun, tahun baru, dan semacamnya) adalah bentuk tasyabbuh dengan orang-orang kafir, yaitu dari kalangan ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) dan selainnya yang gemar membuat-buat berbagai macam perayaan (‘id) yang tidak disyariatkan. Dan tidak diragukan lagi, bahwa kita diperintahkan untuk meninggalkan tasyabbuh terhadap orang kafir dan memutus berbagai bentukkaitan tasyabbuh dengan mereka.” (Al-Minzhaar, hal. 19)

Perayaan ulang tahun adalah tradisi orang-orang kafir, dan bukan bagian dari perayaan kaum muslimin sebagaimana hadits-hadits yang telah disebutkan di atas.

Di antara bukti bahwa perbuatan membuat-buat perayaan (‘id) adalah karakter khas orang Yahudi adalah sebuah hadits yang diriwayatkan dari Thariq bin Shihab, beliau berkata, “Seorang Yahudi berkata kepada ‘Umar,

يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ آيَةٌ فِي كِتَابِكُمْ تَقْرَءُونَهَا، لَوْ عَلَيْنَا نَزَلَتْ، مَعْشَرَ الْيَهُودِ، لَاتَّخَذْنَا ذَلِكَ الْيَوْمَ عِيدًا

‘Wahai amirul mukminin! Kalian membaca suatu ayat dalam kitab kalian, yang seandainya ayat tersebut turun kepada kami, orang-orang Yahudi, maka kami akan jadikan hari turunnya ayat tersebut sebagai ‘id.’”

‘Umar berkata, “Ayat apakah itu?”

Orang Yahuid tersebut mengatakan,

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagimu.” (QS. Al-Maidah [5]: 3)

Kemudian ‘Umar berkata,

إِنِّي لَأَعْلَمُ الْيَوْمَ الَّذِي نَزَلَتْ فِيهِ، وَالْمَكَانَ الَّذِي نَزَلَتْ فِيهِ، نَزَلَتْ عَلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَرَفَاتٍ فِي يَوْمِ جُمُعَةٍ

“Aku sungguh mengetahui hari ketika ayat tersebut diturunkan dan tempat diturunkannya ayat tersebut. Ayat tersebut turun kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di hari Arafah pada hari Jum’at.” (HR. Bukhari no. 45 dan Muslim no. 3017)

Lihatlah bagaimana dalam hadits di atas, orang Yahudi tersebut berkeinginan untuk menjadikan suatu hari yang dianggap sebagai hari yang istimewa untuk dijadikan hari perayaan (‘id). Dan inilah ciri khas mereka, yaitu menjadikan momen-momen tertentu untuk dijadikan sebagai bahan perayaan.

Doa agar panjang umur

Dalam acara ulang tahun, juga terdapat berbagai macam doa, yang biasanya berdoa agar dipanjangkan umurnya secara mutlak. Doa semacam ini pun bermasalah, karena panjang umur bisa jadi dihabiskan untuk maksiat dan durhaka kepada Allah Ta’ala, sehingga akhirnya akan memperberat urusan kita di akhirat kelak.

Oleh karena itu, ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang siapakah manusia terbaik, beliau menjawab,

مَنْ طَالَ عُمُرُهُ، وَحَسُنَ عَمَلُهُ

“Siapa saja yang berumur panjang dan baik amalnya.” (HR. Ahmad no. 17698, 17680 dan Tirmidzi no. 2251, hadits shahih)

Atas dasar inilah, sebagian ulama membenci untuk didoakan panjang umur secara mutlak.

Kesimpulan

Perayaan ulang tahun termasuk dalam bid’ah jika dirayakan dalam rangka ibadah mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Perayaan ulang tahun juga tetap terlarang meskipun hanya bermaksud untuk bersenang-senang. Karena syariat melarang untuk mengagungkan, memuliakan dan mengistimewakan hari tertentu untuk senang-senang dan ibadah, kecuali ada dalil penetapannya dari syariat yang mulia ini. Selain itu, merayakan ulang tahun akan menjerumuskan seseorang ke dalam tasyabbuh terhadap orang kafir, yaitu perbuatan menyerupai mereka dalam perbuatan dan karakter yang menjadi ciri khas orang kafir. Termasuk ciri khas orang kafir dalam hal ini adalah membuat-buat berbagai macam ‘id yang tidak ada asal usulnya dalam agama mereka.(al-Inaya/Msl)