Ada yang mengganggu aqidah saya saat saya menonton dialog
sunnah Si’ah disalah satu stasiun TV beberapa waktu yang lalu. Pihak Si’ah
(dari Bandung) yang berbicara dulu mengatakan,bahwa QS. Ma’arij 1-2 adalah turun
kepada mereka yang menolak imamah Ali bin Abi Thalib R.A.
Disana diceritakan, bahwa ada sahabat Nabi Muhammad SAW “
memprotes” Nabi: ya rosul tidakkah cukup engkau suruh kami berysahadat bahwa tiada tuhan selain Allah, dan sesungguhnya
engkau rasul Allah, maka kami terima itu. Dan engkau suruh salat kami terima
itu, engkau suruh puasa kami terima itu, engkau suruh naik haji kami terima itu
kemudian belum rela ( cukup) itu engkau mulyakan anak pamanmu (Ali) apa ini dari
engkau apakah dari Allah. Maka rasul menjawab “ demi yang tiada tuhan selain
dia,bahwa (pemulyaan Ali sebagai imam) itu dari Allah”.
Maka harith (sahabat yang memerotes itu)berpaling dan
berkata: “ Allahummah, jika Muhammad benar maka hujanilah kami dari langit
bebatuan atau beri azab yang pedih”. Maka bala dan musibah itupun turun.
Kemudian disimpulkan oleh si’ah, yang mendapat bala itu bahwa yang menolak
imamah Ali, secara tersirat dikatakan itulah ahlus sunnah.sedangkan yang
menerima ayat itu adalah si’ah. Lalu, pembicara si’ah itu mengatakan: bahwa ini
sebenarnya dari Ahlus sunnah, yakni tafsir Al-Qurtubi, benarkah ini ataukah ini tafsir kebencian.?
Sementara dari pihak “sunni” yakni pembicara dari Jakarta tidak menagkis
kerterangan spekulatif si’ah itu.
Ungkapan tersebut terus terang belum pernah saya dengar sama
sekali selama ini dari ulama manapun. Apalagi pembicara menyebutkan, pristiwa
ini asalmuasal terjadinya perpecahan sunnah-si’ah. Artinya yang protes itu (
dan nutabeny dapat bala) adalah yang menulak Ali sebagai imam, yakni Ahlus
sunnah. Seangkan yang menerima adalah si’ah. Begitu menyederhanakan masalah
aqidah, yang seharusnya dikonstruksi dengan petunjuk-petunjuk yang qoth’I.
menurut saya dialog tersebut tidak saja mengkaburkan tapi bisa menyesatkan
muslimin awam.
Alaikumsalam
Riwayat yang dikutib itu memang benar dari tafsir Al-Qurtubi
h. 181. Tapi imam al-Qurtubi sendiri menyebut itu sebagai “ qila” (katanya).
Biasanya bila riwayat itu dikutib dengan mendahulukan kata “qila”, itu artinya
pengutib tidak bertanggung jawab terhadap sumbernya. Lain jika menggunakan
ungkapan “qala” (dikatakan oleh). Ini biasanya langsung disertai dengan
menyebut sumber yang mengatakan. Boleh jadi riwayat ini dikutib dari si’ah
ekstremis, yang memang suka membuat hadits palsu.
Barangkali pula dimaklumi, bahwa ilmu tafsir, menurut imam
Badruddin Az-Zarkasyi (1344-1391) termasuk Ilmu yang “belum matang dan belum
terbakar” tidak seperti hadist dan fiqih. Oleh karena itu tafsir ditulis
berdasarkan kecendrungan aqidah dan mazhab (bahkan haluan/kepentingan politik)para
penulisnya. Dalam wacana tafsir memang kita jumpai banyak riwayat-riwayat
bahkan israiliyat yang masuk sebagai dongeng dan ‘bunga-bunga’ keterangan,
untuk ‘memperkaya’tafsir dan pendapat.tapi sekali-kali hal itu bukan kepastian tafsir, yang dapat jadi pegangan.
Mengenai riwayat yang mengatakan, hal ini merupakan tusebab terjadinya dua kelompok sunnah dan
si’ah pastilah itu tidak benar. Perttama, ayat tersebut turun di makkah
sementara hadits-hadits fadhail (keutamaan) para sahabat, terutama dalam
kontek ini adalh ali bin abi Thalib, turun di madinah. Kedua, setelah saya
periksa di tafsir al-mizan karangan ayatullah Tabataba’I, ternyata surat
Ma’arij ayat 1-2 tidak ditafsirkan seperti dalam Al-qurtubi ini. Padahal tafsir
Al-Mizan adaah kitab tafsir standar yang paling otoritatif bagi si’ah Imamiyah
Jakfariyah Ithna Asyariah. Dinyaatakan bahwa ayat itu turun untuk orang
kafir(lilkafiriin)karena yang bertanya itu orang kafir(Ayatullah Tabataba’I
dalam Al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, jilid 20 h.6)tapi yang paling awal memuat
hadits palsu ini adalah al-kafi.(juz I hal.425,sebagaimana dikutip dalam buku
“perbedaan Prinsip Aqidah dan ajaran Ahlus sunnah Wal jama’ah dan Syi’ah
Imamiyah”, malang : 1999).
Perlu diketahui bahwa mayoritas
ulamak Syi’ah mempunyai sikap standar ganda dalam menyikapi Ahlus sunnah.Mereka
getol dan selektif sekali mengutip hadits-hadist Ahlussunnah Waljamaah dengan
tujuan dekontruskisi dan kritik secara pejorative.Mereka hanya mau menerima hadits
Ahlussunnah yang mendukung keutamaan Ali,dan menolak hadits-hadits yang
mengunggulkan para pemuka sahabat lain meskipun dibawa oleh perawi yang sama
dengan mereka yang mendukung Ali bin Abi Thalib.Seolah-olah seorang perawi itu
bisa benar dan bisa salah, benar jika membawa riwayat tentang keutamaan Ali dan
salah bila membawa keutamaan sahabat lain. Di sisi lain, sementara mereka
enggan menilai hadits yang mereka bangun sendiri , seperti al-Kafi, Man La
Yahduruhul Faqih, Istibshar dan sebagainya karena dalam kenyataannya sarat
dengan kontroversi dengan Al-Qur’an dan metodologi hadist mainstream umat
Islam. Dalam dialog memang diperlukan sikap fair dan objektif agar dapat mentarjih
pendapat yang paling kuat secara jelas dan pasti, hingga dapat diikuti oleh
umat . Wallahu a’lam.!
Artikel by : al-Inaya. blogspot.com
Sumber : H. Muhammad Baharun " Menjawab Pertanyaan Musykil"