Friday, December 23, 2016

Dialog Sunnah dan Si'ah.

Assalamu alaikum Wr. Wb.
Ada yang mengganggu aqidah saya saat saya menonton dialog sunnah Si’ah disalah satu stasiun TV beberapa waktu yang lalu. Pihak Si’ah (dari Bandung) yang berbicara dulu mengatakan,bahwa QS. Ma’arij 1-2 adalah turun kepada mereka yang menolak imamah Ali bin Abi Thalib R.A.

Disana diceritakan, bahwa ada sahabat Nabi Muhammad SAW “ memprotes” Nabi: ya rosul tidakkah cukup engkau suruh kami berysahadat  bahwa tiada tuhan selain Allah, dan sesungguhnya engkau rasul Allah, maka kami terima itu. Dan engkau suruh salat kami terima itu, engkau suruh puasa kami terima itu, engkau suruh naik haji kami terima itu kemudian belum rela ( cukup) itu engkau mulyakan anak pamanmu (Ali) apa ini dari engkau apakah dari Allah. Maka rasul menjawab “ demi yang tiada tuhan selain dia,bahwa (pemulyaan Ali sebagai imam) itu dari Allah”.
Maka harith (sahabat yang memerotes itu)berpaling dan berkata: “ Allahummah, jika Muhammad benar maka hujanilah kami dari langit bebatuan atau beri azab yang pedih”. Maka bala dan musibah itupun turun. Kemudian disimpulkan oleh si’ah, yang mendapat bala itu bahwa yang menolak imamah Ali, secara tersirat dikatakan itulah ahlus sunnah.sedangkan yang menerima ayat itu adalah si’ah. Lalu, pembicara si’ah itu mengatakan: bahwa ini sebenarnya dari Ahlus sunnah, yakni tafsir Al-Qurtubi,  benarkah ini ataukah ini tafsir kebencian.? Sementara dari pihak “sunni” yakni pembicara dari Jakarta tidak menagkis kerterangan spekulatif si’ah itu.
Ungkapan tersebut terus terang belum pernah saya dengar sama sekali selama ini dari ulama manapun. Apalagi pembicara menyebutkan, pristiwa ini asalmuasal terjadinya perpecahan sunnah-si’ah. Artinya yang protes itu ( dan nutabeny dapat bala) adalah yang menulak Ali sebagai imam, yakni Ahlus sunnah. Seangkan yang menerima adalah si’ah. Begitu menyederhanakan masalah aqidah, yang seharusnya dikonstruksi dengan petunjuk-petunjuk yang qoth’I. menurut saya dialog tersebut tidak saja mengkaburkan tapi bisa menyesatkan muslimin awam.
Alaikumsalam
Riwayat yang dikutib itu memang benar dari tafsir Al-Qurtubi h. 181. Tapi imam al-Qurtubi sendiri menyebut itu sebagai “ qila” (katanya). Biasanya bila riwayat itu dikutib dengan mendahulukan kata “qila”, itu artinya pengutib tidak bertanggung jawab terhadap sumbernya. Lain jika menggunakan ungkapan “qala” (dikatakan oleh). Ini biasanya langsung disertai dengan menyebut sumber yang mengatakan. Boleh jadi riwayat ini dikutib dari si’ah ekstremis, yang memang suka membuat hadits palsu.

Barangkali pula dimaklumi, bahwa ilmu tafsir, menurut imam Badruddin Az-Zarkasyi (1344-1391) termasuk Ilmu yang “belum matang dan belum terbakar” tidak seperti hadist dan fiqih. Oleh karena itu tafsir ditulis berdasarkan kecendrungan aqidah dan mazhab (bahkan haluan/kepentingan politik)para penulisnya. Dalam wacana tafsir memang kita jumpai banyak riwayat-riwayat bahkan israiliyat yang masuk sebagai dongeng dan ‘bunga-bunga’ keterangan, untuk ‘memperkaya’tafsir dan pendapat.tapi sekali-kali hal itu bukan  kepastian tafsir, yang dapat jadi pegangan.
Mengenai riwayat yang mengatakan, hal ini merupakan  tusebab terjadinya dua kelompok sunnah dan si’ah pastilah itu tidak benar. Perttama, ayat tersebut turun di makkah sementara hadits-hadits fadhail (keutamaan) para sahabat, terutama dalam kontek ini adalh ali bin abi Thalib, turun di madinah. Kedua, setelah saya periksa di tafsir al-mizan karangan ayatullah Tabataba’I, ternyata surat Ma’arij ayat 1-2 tidak ditafsirkan seperti dalam Al-qurtubi ini. Padahal tafsir Al-Mizan adaah kitab tafsir standar yang paling otoritatif bagi si’ah Imamiyah Jakfariyah Ithna Asyariah. Dinyaatakan bahwa ayat itu turun untuk orang kafir(lilkafiriin)karena yang bertanya itu orang kafir(Ayatullah Tabataba’I dalam Al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, jilid 20 h.6)tapi yang paling awal memuat hadits palsu ini adalah al-kafi.(juz I hal.425,sebagaimana dikutip dalam buku “perbedaan Prinsip Aqidah dan ajaran Ahlus sunnah Wal jama’ah dan Syi’ah Imamiyah”, malang : 1999).

Perlu diketahui bahwa mayoritas ulamak Syi’ah mempunyai sikap standar ganda dalam menyikapi Ahlus sunnah.Mereka getol dan selektif sekali mengutip hadits-hadist Ahlussunnah Waljamaah dengan tujuan dekontruskisi dan kritik secara pejorative.Mereka hanya mau menerima hadits Ahlussunnah yang mendukung keutamaan Ali,dan menolak hadits-hadits yang mengunggulkan para pemuka sahabat lain meskipun dibawa oleh perawi yang sama dengan mereka yang mendukung Ali bin Abi Thalib.Seolah-olah seorang perawi itu bisa benar dan bisa salah, benar jika membawa riwayat tentang keutamaan Ali dan salah bila membawa keutamaan sahabat lain. Di sisi lain, sementara mereka enggan menilai hadits yang mereka bangun sendiri , seperti al-Kafi, Man La Yahduruhul Faqih, Istibshar dan sebagainya karena dalam kenyataannya sarat dengan kontroversi dengan Al-Qur’an dan metodologi hadist mainstream umat Islam. Dalam dialog memang diperlukan sikap fair dan objektif agar dapat mentarjih pendapat yang paling kuat secara jelas dan pasti, hingga dapat diikuti oleh umat . Wallahu a’lam.

Sumber : H. Muhammad Baharun " Menjawab Pertanyaan Musykil"