Penguasa yang tidak berhukum dengan hukum Allah Ta’ala, apakah bukan ulil amri?
Sebelum kita masuk ke dalam pembahasan ini, perlu diketahui bahwa ketika syariat menyebut suatu perbuatan sebagai “kekafiran”, bisa jadi maksudnya adalah kafir akbar (mengeluarkan seseorang dari Islam) atau kafir ashghar (tidak mengeluarkan seseorang dari Islam).
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
فَأَمَّا الْكُفْرُ فَنَوْعَانِ: كُفْرٌ أَكْبَرُ، وَكُفْرٌ أَصْغَرُ. فَالْكَفْرُ الْأَكْبَرُ هُوَ الْمُوجِبُ لِلْخُلُودِ فِي النَّارِ. وَالْأَصْغَرُ مُوجِبٌ لِاسْتِحْقَاقِ الْوَعِيدِ دُونَ الْخُلُودِ،
“Adapun kekafiran itu ada dua macam, kafir akbar (kafir besar) dan kafir ashghar (kafir kecil). Yang dimaksud kafir akbar adalah kafir yang menyebabkan pelakunya kekal di neraka. Adapun kafir ashghar menyebabkan seseorang berhak mendapatkan ancaman, namun tidak kekal di neraka” (Madaarijus Saalikin, 1: 344).
Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi rahimahullah berkata,
واعلم أن تحرير المقام في هذا البحث أن الكفر، والظلم، والفسق، كل واحد منها ربما أطلق في الشرع مرادا به المعصية تارة، والكفر المخرج من الملة أخرى
“Ketahuilah bahwa yang baku dalam masalah ini adalah bahwa kekafiran, kezaliman dan kefasikan itu masing-masing terkadang dimaksudkan dalam syariat untuk perbuatan maksiat, dan terkadang dimaksudkan untuk perbuatan kekafiran yang mengeluarkan seseorang dari agama” (Tafsir Adhwa’ul Bayaan, 1: 407-408).
Jika hal ini sudah dipahami dengan baik, maka dari sini muncullah pembahasan:
Menjadikan selain hukum Allah Ta’ala sebagai sumber hukum, apakah termasuk kafir akbar atau kafir ashghar?
Masalah penguasa yang tidak berhukum dengan hukum Allah adalah masalah yang penting. Hal ini mengingat banyaknya orang yang menyangka bahwa ketika suatu pemerintahan atau negara tidak menjadikan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai “undang-undang dasar negara”, maka siapa pun pemimpinnya, maka dia bukanlah ulil amri yang wajib ditaati. Misalnya, seseorang enggan untuk mengakui seorang penguasa atau pemimpin suatu negara sebagai ulil amri, ketika negara tersebut menjadikan hukum buatan manusia sebagai sumber hukum.
Oleh karena itu, penting bagi kita untuk melihat dan meneliti bagaimanakah penjelasan ulama tentang masalah ini.
Para ulama menjelaskan bahwa semata-mata berhukum dengan hukum selain Allah Ta’ala tidak termasuk dalam kufur akbar, selama dia masih meyakini bahwa perbuatan tersebut salah (keliru) dan dia mengakui bahwa perbuatan tersebut adalah maksiat (perbuatan dosa). Berhukum dengan selain hukum Allah Ta’ala termasuk dalam kufur akbar jika pelakunya meyakini bolehnya hal tersebut (istihlal) atau memang dia mengingkari dan menolak (juhud) hukum Allah Ta’ala tersebut.
Sama saja apakah (a) hukum selain hukum Allah Ta’ala tersebut dijadikan sebagai dasar negara, atau (b) jika hukum Islam dijadikan sebagai undang-undang dasar namun dalam satu permasalahan tertentu, hukum Islam tersebut ditinggalkan dan memilih hukum buatan manusia. Karena yang menjadi patokan adalah jenis perbuatan, yaitu adanya istihlal atau juhud, bukan pada sedikit atau banyaknya perbuatan.
Oleh karena itu, taruhlah suatu negara menjadikan hukum Islam sebagai undang-undang dasar, namun dalam satu permasalahan tertentu, sang hakim meninggalkan hukum Islam berkaitan dengan masalah tertentu tersebut disertai istihlal dan juhud, maka perbuatan ini termasuk dalam kufur akbar.
Ibnul Qayyim Al-Jauziyah rahimahullahu Ta’ala menjelaskan permasalahan ini,
وَالصَّحِيحُ أَنَّ الْحُكْمَ بِغَيْرِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ يَتَنَاوَلُ الْكُفْرَيْنِ، الْأَصْغَرَ وَالْأَكْبَرَ بِحَسَبِ حَالِ الْحَاكِمِ، فَإِنَّهُ إِنِ اعْتَقَدَ وُجُوبَ الْحُكْمِ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فِي هَذِهِ الْوَاقِعَةِ، وَعَدَلَ عَنْهُ عِصْيَانًا، مَعَ اعْتِرَافِهِ بِأَنَّهُ مُسْتَحِقٌّ لِلْعُقُوبَةِ، فَهَذَا كُفْرٌ أَصْغَرُ، وَإِنِ اعْتَقَدَ أَنَّهُ غَيْرُ وَاجِبٍ، وَأَنَّهُ مُخَيَّرٌ فِيهِ، مَعَ تَيَقُّنِهِ أَنَّهُ حُكْمُ اللَّهِ، فَهَذَا كُفْرٌ أَكْبَرُ، وَإِنْ جَهِلَهُ وَأَخْطَأَهُ فَهَذَا مُخْطِئٌ، لَهُ حُكْمُ الْمُخْطِئِينَ
“Yang tepat, bahwa berhukum dengan selain hukum Allah Ta’ala mencakup dua jenis kekafiran, yaitu kufur ashghar dan kufur akbar, sesuai dengan kondisi (keadaan) sang hakim. (Kondisi pertama), jika dia meyakini wajibnya berhukum dengan hukum Allah dalam suatu permasalahan (dia mengetahui bagaimana hukum Allah dalam masalah tersebut, pen.), kemudian dia berpaling karena (sengaja) bermaksiat dengan tetap meyakini bahwa dia berhak mendapatkan hukuman, maka dalam kasus ini termasuk dalam kufur ashghar. (Kondisi ke dua), adapun jika dia meyakini bahwa berhukum dengan hukum Allah itu tidak wajib dan (dia meyakini) bolehnya (bebas) memilih, padahal dia mengetahui (meyakini) bahwa hukum tersebut betul-betul termasuk dalam hukum Allah, maka dalam kasus ini termasuk dalam kufur akbar. (Dalam kasus lain), jika dia tidak berilmu (tidak mengetahui hukum Allah Ta’ala dalam masalah tersebut) atau karena kekeliruan (misalnya, keliru dalam berijtihad, pen.), maka dia telah berbuat kesalahan, dan baginya hukum orang yang berbuat kesalahan (karena ketidaksengajaan).” (Madaarijus Saalikin, 1: 336)
Ketika menjelaskan ayat,
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
“Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan, maka mereka termasuk orang-orang kafir” (QS. Al-Maidah [5]: 44).
Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi rahimahullah berkata,
ومن لم يحكم بما أنزل الله، معارضة للرسل وإبطالا لأحكام الله، فظلمه وفسقه وكفره كلها كفر مخرج عن الملة، ومن لم يحكم بما أنزل الله معتقدا أنه مرتكب حراما فاعل قبيحا فكفره وظلمه وفسقه غير مخرج عن الملة،
“Seorang yang tidak berhukum dengan hukum Allah, dalam kondisi dia menentang para rasul dan menghapus hukum-hukum Allah, maka kezaliman, kefasikan dan kekafirannya adalah kekafiran yang mengeluarkan seseorang dari agama Islam. Adapun seorang yang tidak berhukum dengan hukum Allah, dengan tetap meyakini bahwa dia telah melakukan perbuatan yang haram (maksiat) atau berbuat kejelekan, maka kekafiran, kedzaliman dan kefasikannya tidak mengeluarkan dirinya dari agama Islam” (Tafsir Adhwa’ul Bayaan, 1: 408).
Ibnu Abil ‘Izzi Al-Hanafi rahimahullah berkata,
وَهُنَا أَمْرٌ يَجِبُ أَنْ يُتَفَطَّنَ لَهُ، وَهُوَ: أَنَّ الْحُكْمَ بِغَيْرِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَدْ يَكُونُ كُفْرًا يَنْقُلُ عَنِ الْمِلَّةِ، وَقَدْ يَكُونُ مَعْصِيَةً: كَبِيرَةً أَوْ صَغِيرَةً، وَيَكُونُ كُفْرًا: إِمَّا مَجَازِيًّا، وَإِمَّا كُفْرًا أَصْغَرَ، عَلَى الْقَوْلَيْنِ الْمَذْكُورَيْنِ. وَذَلِكَ بِحَسَبِ حَالِ الْحَاكِمِ: فَإِنَّهُ إِنِ اعْتَقَدَ أَنَّ الْحُكْمَ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ غَيْرُ وَاجِبٍ، وَأَنَّهُ مُخَيَّرٌ فِيهِ، أَوِ اسْتَهَانَ بِهِ مَعَ تَيَقُّنِهِ أَنَّهُ حُكْمُ اللَّهِ ، فَهَذَا كَفْرٌ أَكْبَرُ. وَإِنِ اعْتَقَدَ وُجُوبَ الْحُكْمِ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ، وَعَلِمَهُ فِي هَذِهِ الْوَاقِعَةِ، وَعَدَلَ عَنْهُ مَعَ اعترافه بأنه مستحق للعقوبة، فهذا عَاصٍ، وَيُسَمَّى كَافِرًا كُفْرًا مَجَازِيًّا، أَوْ كُفْرًا أَصْغَرَ. وَإِنْ جَهِلَ حُكْمَ اللَّهِ فِيهَا، مَعَ بَذْلِ جُهْدِهِ وَاسْتِفْرَاغِ وُسْعِهِ فِي مَعْرِفَةِ الْحُكْمِ وأخطأ، فَهَذَا مُخْطِئٌ، لَهُ أَجْرٌ عَلَى اجْتِهَادِهِ، وَخَطَؤُهُ مَغْفُورٌ.
“Di sini terdapat masalah yang perlu dirinci. Yaitu, berhukum dengan selain hukum Allah terkadang adalah kekafiran yang memindahkan (mengeluarkan) seseorang dari agama dan terkadang adalah maksiat (dosa), baik dosa besar atau dosa kecil. “Kekafiran” terkadang bermakna majaz (maksiat biasa) dan terkadang bermakna kafir ashghar, berdasarkan dua rincian yang telah disebutkan. Hal ini berdasaran kondisi sang hakim. Jika dia meyakini bahwa berhukum dengan hukum Allah Ta’ala itu tidak wajib dan dia bebas memilih, ATAU dia mendiskreditkan hukum Allah dalam kondisi mengetahui hal itu adalah hukum Allah, maka ini adalah kafir akbar.
Jika dia (a) meyakini wajibnya berhukum dengan hukum Allah, dan dia (b) mengetahui hukum Allah dalam masalah tersebut, namun dia berpaling dalam kondisi dia (c) meyakini bahwa dia berhak mendapatkan hukuman, maka pelakunya adalah pelaku maksiat, disebut sebagai pelaku kekufuran (kafir) secara kiasan atau menunjukkan perbuatan yang dilakukannya merupakan kufur ashghar.
Jika dia (a) tidak mengetahui hukum Allah (dalam masalah tersebut, pen.), padahal dia (b) sudah berusaha dan berupaya (berijtihad) maksimal dalam mengetahui bagaimanakah hukum Allah dalam masalah tersebut, namun dia keliru, maka dia telah berbuat kesalahan. Dia mendapatkan satu pahala karena ijtihadnya, dan kesalahannya tersebut dimaafkan” (Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah, 1: 304-305).
Adanya perselisihan ulama dalam masalah ini
Setelah memahami penjelasan di atas, perlu diketahui bahwa sebetulnya terdapat perselisihan (khilaf) di antara para ulama ahlus sunnah dalam permasalahan menjadikan hukum selain hukum Islam sebagai dasar negara (tasyri’ ‘aam), apakah perbuatan tersebut termasuk dalam kekafiran ataukah tidak.
Para ulama ahlus sunnah tidaklah menjadikan masalah ini sebagai masalah yang terdapat ijma’ (kesepakatan) di dalamnya. Akan tetapi, ini termasuk dalam perkara yang diperselisihkan, apakah termasuk kufur akbar ataukah tidak. Oleh karena itu, para ulama ahlus sunnah jaman ini (seperti Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baaz, Syaikh Muhammad Nashirudiin Al-Albani rahimahumullah dan yang lainnya) tidaklah menyikapi masalah ini seolah-olah sebagai sebuah ijma’ yang tidak boleh ada perbedaan pendapat di dalamnya, sebagaimana sikap yang ditunjukkan oleh kelompok khawarij pada jaman ini. Para ulama ahlus sunnah yang menilai bahwa perbuatan tersebut termasuk dalam kufur akbar tidaklah menjadikan (memvonis) orang yang menyelisihinya sebagai pengikut murji’ah, misalnya. Mereka menyikapi masalah ini sebagaimana permasalahan lain yang diperselisihkan kekafirannya, seperti meninggalkan shalat dan meninggalkan zakat.
Dan selama sebuah perbuatan itu diperselisihkan status kekafirannya, apakah termasuk kufur akbar ataukah tidak, maka perbuatan tersebut tidaklah menyebabkan kita boleh keluar dari ketaatan terhadap ulil amri. Dengan kata lain, tidak termasuk dalam perbuatan “kufrun bawwah” (kekafiran yang nyata) sebagaimana yang ditunjukkan dalam hadits berikut ini,
إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا، عِنْدَكُمْ مِنَ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ
“Kecuali jika kalian melihat kufrun bawwah (kekafiran yang nyata, yang tampak terang-terangan atas semua orang, pen.), dan kalian memiliki bukti di hadapan Allah Ta’ala (bahwa itu adalah kekafiran)” (HR. Bukhari no. 7056 dan Muslim no. 1709).
Perhatian penting
“Hukum Islam” bukan hanya hukum potong tangan bagi pencuri, tidak hanya hukum qishash bagi pelaku pembunuhan secara sengaja, atau tidak hanya hukum rajam bagi pelaku zina. Hukum Islam tidak hanya itu. Akan tetapi, “hukum Islam” mencakup semua masalah aqidah, masalah fiqh ibadah, fiqh muamalah dan akhlak.
Kita jumpai bahwa pemerintah kita masih memasukkan pelajaran agama ke sekolah-sekolah umum, yang berisi keimanan terhadap Allah, malaikat-Nya, dan seterusnya (rukun Iman) serta masih mengajarkan shalat dan rukun Islam lainnya. Pemerintah kita pun membantu mendirikan masjid, membagikan Al-Qur’an, dan mengelola haji secara profesional. Selain itu, adzan masih berkumandang di mana-mana, tidak ada larangan sebagaimana dijumpai di negeri kafir. Juga harus kita akui bahwa pemerintah kita pun masih memperhatikan kapan mulai puasa Ramadhan, kapan hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, dengan metode yang syar’i (ru`yah). Ini semua tidak boleh kita pungkiri sebagai bagian dari “hukum Islam”. Juga para pemimpinya yang masih menegakkan shalat, berpuasa, menunaikan zakat, dan kewajiban-kewajiban lainnya.
Oleh karena itu, mengatakan bahwa negeri kita “bukan negara Islam” secara mutlak adalah kurang tepat. Yang lebih tepat adalah negeri kita menerapkan syariat Islam dalam sebagian perkara, dan tidak menerapkan syariat Islam di sebagian (mayoritas) yang lainnya. Adapun mengeneralisir bahwa negeri kita bukan negeri Islam, ini tidak tepat karena akan menimbulkan kesan bahwa negeri ini seperti negeri kafir sehingga boleh diperangi. Kita selayaknya waspada dari pemikiran semacam ini.
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, dan juga pembahasan di seri-seri sebelumnya, dapat kita simpulkan bahwa penguasa dan pemimpin (muslim) yang sah memegang tampuk kepemimpinan di suatu negara, mereka adalah ulil amri yang wajib ditaati. Hal ini karena mereka memiliki kekuasaan dan kekuatan yang bersifat riil, sehingga bisa memerintahkan rakyatnya untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Ulil amri tersebut wajib ditaati, baik dia memimpin sebuah negara yang menjadikan hukum Allah sebagai dasar atau undang-undang negara ataukah tidak. Selama pemimpin tersebut masih muslim, maka tetap wajib ditaati.(al-Inaya/Islam)