A. Sejarah Perkembangan Pesantren
Ada dua versi pendapat mengenai asal usul dan latar belakang berdirinya pesantren di Indonesia, yaitu:[1]
Pertama,
pendapat yang menyebutkan bahwa pesantren berakar pada tradisi Islam
sendiri, yaitu tarekat. Pesantren mempunyai kaitan yang erat dengan
tempat pendidikan yang khas bagi kaum sufi. Pendapat ini berdasarkan
fakta bahwa penyiaran Islam di Inonesia pada awalnya lebih banyak
dikenal dalam bentuk kegiatan tarekat. Hal ini ditandai oleh
terbentuknya kelompok organisasi tarekat yang melaksanakan amalan-amalan
zikir dan wirid tertentu. Pemimpin tarekat yang disebut Kiai itu
mewajibkan pengikutnya untuk melaksanakan suluk, selama empat puluh hari
dalam satu tahun dengan cara tinggal bersama, sesama angota tarekat
dalam sebuah masjid untuk melaksanakan ibadah-ibadah dibawah bimbingan
Kiai. Untuk keperluan suluk ini para Kiai menyediakan ruangan khusus
untuk penginapan dan tempat-tempat khusus yang terdapat di kiri kanan
masjid. Disamping mengajarkan amalan-amalan tarekat, para pengikut itu
juga diajarkan agama dalam berbagai cabang ilmu pengetahuaan agama
Islam. Aktifitas yang dilakukan oleh pengikut-pengikut tarekat ini
kemudian dinamakan pengajian. Dalam perkembangan selanjutnya lembaga
pengajian ini tumbuh dan berkembang menjadi lembaga Pesantren .
Pendapat
yang kedua adalah, pesantren yang kita kenal sekarang ini pada mulanya
merupakan pengambil alihan dari sistem pesantren yang diadakan oleh
orang-orang Hindu di Nusantara. Kesimpulan ini berdasarkan fakta bahwa
jauh sebelum datangnya Islam ke Indonesia lembaga pesantren sudah ada di
negri ini. Pendirian pesantren pada masa itu dimaksudkan sebagai tempat
mengajarkan agama Hindu dan tempat membina kader. Anggapan lain
mempercayai bahwa pesantren bukan berasal dari tradisi Islam alasannya
adalah tidak ditemukannya lembaga pesantren di negara-negara Islam
lainnya, sementara lembaga yang serupa dengan pesantern banyak ditemukan
dalam masyarakat Hindu dan Budha, seperti di India, Myanmar dan
Thailand.
Pesantren
di Indonesia baru diketahui keberadaan dan perkembangannya setelah abad
ke 16. Pesantren-pesantren besar yang mengajarkan berbagai kitab Islam
klasik dalam bidang fikih, teologi dan tasawuf. Pesantren ini kemudan
menjadi pusat pusat penyiaran Islam seperti; Syamsu Huda di Jembrana
(Bali) Tebu Ireng di Jombang, Al Kariyah di Banten, Tengku Haji Hasan di
Aceh, Tanjung Singgayang di Medan, Nahdatul Watan di Lombok, Asadiyah
di Wajo (Sulawesi) dan Syekh Muhamad Arsyad Al-Banjar di Matapawa
(Kalimantan Selatan) dan banyak lainnya.
Walaupun setiap pesantren mempunyai ciri yang khas, namun ada 5 prinsip dasar pendidikannya, yang tetap sama yaitu;
1. Adanya hubungan yang akrab antara santri dan Kiai
2. Santri taat dan patuh kepada Kiainya, karena kebijaksanaan yang dimiliki oleh Kiai
3. Santri hidup secara mandiri dan sederhana
4. Adanya semangat gotong royong dalam suasana penuh persaudaraan
5. Para santri terlatih hidup berdisiplin dan tirakat.
B. Pondok Pesantren Dahulu
Dalam
catatan sejarah, Pondok Pesantren dikenal di Indonesia sejak zaman
Walisongo. Ketika itu Sunan Ampel mendirikan sebuah padepokan di Ampel
Surabaya dan menjadikannya pusat pendidikan di Jawa. Para santri yang
berasal dari pulau Jawa datang untuk menuntut ilmu agama. Bahkan di
antara para santri ada yang berasal dari Gowa dan Talo, Sulawesi.[2]
Pesantren
Ampel merupakan cikal bakal berdirinya pesantren-pesantren di Tanah
Air. Sebab para santri setelah menyelesaikan studinya merasa
berkewajiban mengamalkan ilmunya di daerahnya masing-masing.
Kesederhanaan
pesantren dahulu sangat terlihat, baik segi fisik bangunan, metode,
bahan kajian dan perangkat belajar lainnya. Hal itu dilatarbelakangi
kondisi masyarakat dan ekonomi yang ada pada waktu itu. Yang menjadi
ciri khas dari lembaga ini adalah rasa keikhlasan yang dimiliki para
santri dan sang Kyai. Hubungan mereka tidak hanya sekedar sebagai murid
dan guru, tapi lebih seperti anak dan orang tua. Tidak heran bila santri
merasa kerasan tinggal di pesantren walau dengan segala
kesederhanaannya.
Bentuk
keikhlasan itu terlihat dengan tidak dipungutnya sejumlah bayaran
tertentu dari para santri, mereka bersama-sama bertani atau berdagang
dan hasilnya dipergunakan untuk kebutuhan hidup mereka dan pembiayaan
fisik lembaga, seperti lampu, bangku belajar, tinta, tikar dan lain
sebagainya.
Materi
yang dikaji adalah ilmu-ilmu agama, seperti fiqih, nahwu, tafsir,
tauhid, hadist dan lain-lain. Biasanya mereka mempergunakan rujukan
kitab turost atau yang dikenal dengan kitab kuning. Di antara kajian
yang ada, materi nahwu dan fiqih mendapat porsi mayoritas. Ha litu
karena mereka memandang bahwa ilmu nahwu adalah ilmu kunci.
Seseorang tidak dapat membaca kitab kuning bila belum menguasai nahwu. Sedangkan materi fiqih
karena dipandang sebagai ilmu yang banyak berhubungan dengan kebutuhan
masyarakat (sosiologi). Tidak heran bila sebagian pakar meneybut sistem
pendidikan Islam pada pesantren dahulu bersifat “fiqih orientied” atau “nahwu orientied”.
Masa
pendidikan tidak tertentu, yaitu sesuai dengan keinginan santri atau
keputusan sang Kyai bila dipandang santri telah cukup menempuh studi
padanya. Biasanya sang Kyai menganjurkan santri tersebut untuk nyantri
di tempat lain atau mengamalkan ilmunya di daerah masing-masing. Para
santri yang tekun biasanya diberi “ijazah” dari sang Kyai.
Lokasi
pesantren model dahulu tidaklah seperti yang ada kini. Ia lebih menyatu
dengan masyarakat, tidak dibatasi pagar (komplek) dan para santri
berbaur dengan masyarakat sekitar. Bentuk ini masih banyak ditemukan
pada pesantren-pesantren kecil di desa-desa Banten, Madura dan sebagian
Jawa Tengah dan Timur.
Pesantren
dengan metode dan keadaan di atas kini telah mengalami reformasi, meski
beberapa materi, metode dan sistem masih dipertahankan. Namun keadaan
fisik bangunan dan masa studi telah terjadipembenahan.
C. Pondok Pesantren Kini
Bentuk,
sistem dan metode pesantren di Indonesia dapat dibagi kepada dua
periodisasi; Periode Ampel (salaf) yang mencerminkan kesederhanaan
secara komprehensif. Kedua, Periode Gontor yang mencerminkan kemodernan
dalam sistem, metode dan fisik bangunan. Periodisasi ini tidak menafikan
adanya pesantren sebelum munculnya Ampel dan Gontor.
Sebelum
Ampel muncul, telah berdiri pesantren yang dibina oleh Syaikh Maulana
Malik Ibrahim. Demikian juga halnya dengan Gontor, sebelumnya telah ada
yang justru menjadi cikal bakal Gontor- pesantren Tawalib, Sumatera.
Pembagian di atas didasarkan pada besarnya pengaruh kedua aliran dalam
sejarah kepesantrenan di Indonesia.
Sifat
kemodernan Gontor tidak hanya terletak pada bentuk penyampaian materi
yang menyerupai sistem sekolah atau perkuliahan di perguruan tinggi,
tapi juga pada gaya hidup. Hal ini tercermin dari pakaian santri dan
gurunya yang mengenakan celana dan dasi. Berbeda dengan aliran Ampel
yang sarungan dan sorogan.
Hal
ini bisa dimaklumi, mengingat para Kyai salaf menekankan perasaan anti
kolonial pada setiap santri dan masyarakat, hingga timbul fatwa bahwa
memakai celana dan dasi hukumnya haram berdasarkan sebuah hadist yang
berbunyi: “Barang siapa yang menyerupai suatu kaum (golongan), maka dia termasuk golongan itu”.
Dalam
hal ini, Gontor telah berani melangkah maju menuju perubahan yang saat
itu masih dianggap tabu. Namun demikian bukan tidak beralasan.
Penggunaan dasi dan celana yang diterapkan Gontor adalah untuk mendobrak
mitos bahwa santri selalu terkebelakang dan ketinggalan zaman. Prinsip
ini tercermin dengan masuknya materi bahasa inggris menjadi pelajaran
utama setelah bahasa Arab dan agama, dengan tujuan agar santri dapat
mengikuti perkembangan zaman dan mampu mewarnai masyarakat dengan segala
perubahannya.
Beberapa
reformasi dalam sistem pendidikan pesantren yang dilakukan Gontor
antara lain dapat disimpulkan pada beberapa hal. Di antaranya: tidak
bermazdhab, penerapan organisasi, sistem kepimimpinan sang Kyai yang
tdak mengenal sistem waris dan keturunan, memasukkan materi umum dan
bahasa Inggris, tidak mengenal bahasa daerah, penggunaan bahasa Arab dan
Inggris- sebagai bahasa
pengantar dan percakapan, olah raga dengan segala cabangnya dan
lain-lain. Oleh karena itu Gontor mempunayi empat prinsip, yaitu:
berbudi tinggi, berbadan sehat, berpikiran bebas dan berpengetahuan
luas.
Langkah-langkah
reformasi yang dilakukan Gontor pada gilirannya melahirkan
alumni-alumni yang dapat diandalkan, terbukti dengan duduknya para
alumni Gontor di berbagai bidang, baik di instansi pemertintah maupun
swasta. Bila mazdhab Ampel telah melahirkan para ulama, pejuang
kemerdekaan dan mereka yang memenuhi
kebutuhan lokal, maka Gontor telah memenuhi kebutuhan di segala sendi
kehidupan di negeri ini. Atas dasar itu pula penulis membagi sejarah
sistem pendidikan pesantren kepada dua pase; pase Ampel dan pase Gontor.
Satu
persamaan yang dimilki dua madzhab ini adalah bahwa kedua-duanya tidak
mengeluarkan ijazah negeri kepada alumninya, dengan keyakinan bahwa
pengakuan masyarakatlah sebagai ijazahnya.
Langkah
reformasi di atas tidak berarti Gontor lebih unggul di segala bidang,
terbukti kemampuan membaca kitab kuning (turost) masih dikuasai alumni
mazdhab Ampel dibanding alumni mazdhab Gontor.
D. Pembaharuan di Bidang Furu’
Yang
dimaksud perubahan di bidang furu’ di sini adalah beberapa perubahan
pada beberapa bidang yang dilakukan sejumlah pondok pesantren yang
berkiblat atau mengikuti Gontor. Seperti perubahan kurukulum dan
aktifitas pesantren. Hal ini terjadi karena dipandang masih adanya
beberapa kelemahan yang ditemukan pada Gontor. Atau karena adanya
kebutuhan masyarakat di mana pesantren itu berada.
Untuk
mengisi kekurangan di bidang penguasaan kitab kuning umpamanya,
beberapa pesantren memasukkan kitab kuning sebagai sylabus, meskipun jam
pelajarannya berada di luar waktu sekolah, seperti halnya yang
dilakukan Pondok Pesantren Daarul Rahman, Jakarta. Sistem kombinasi
(perpaduan) mazdhab Gontor dan Salaf ini belakangan banyak diterapkan di
tengah tumbuhnya pesantren-pesantren.
Pengajaran
kitab kuning pun tidak lagi menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa
pengantar sebagaimana yang ditemukan pada pesantren Salaf, meskipun
demikian metode pembacaannya (secara nahwu) masih mengikuti mazdhab
Salaf, yaitu menggantikan “Utawi-Iku” dengan “Bermula-Itu” pada
kedudukan mubtada dan khobar.
Di
sisi lain sejumlah pesantren mengikuti silabus Depag atau Depdikbud.
Hal itu karena didorong tuntutan masyarakat yang menginginkan anaknya
menggondol ijazah negeri setelah menyelesaikan studinya. Sebagai
konsekwensinya, mau tidak mau beberapa materi yang terdapat pada Gontor
dikurangi mengingat jatah kurikulum pemerintah tadi atau paling tidak
beberapa jam pelajaran dibagi-bagi untuk memenuhi kurikulum tadi.
Sehingga
bobot Gontornya sedikit berkurang.Namun demikian, langkah ini membantu
para alumninya melanjutkan pendidikan di mana saja karena adanya
ijazah negeri. Bentuk terakhir ini kita dapatkan pada Pondok
PesantrenDaarun Najah, Daarul Qolam dan pesantren-pesantren sekarang
pada umumnya.
E. Kebijakan Pemerintah dan Pendidikan
Pemerintah
melalui Departemen Agama telah mengeluarkan kebijaksanaannya dalam
pendidikan, yaitu dengan SK Menag tentang penyelenggaraan pendidikan
agama. Maka berdirilah MI, Mts, Madrasah Aliyah dan IAIN dengan tujuan
mencetak ulama yang dapat menjawab tantangan zaman dan memberi
kesempatan kepada warga Indonesia yang mayoritas muslim mendalami ilmu
agama.Ijazahnya pun telah disetarakan dengan pendidikan umum sesuai
dengan SK bersama tiga menteri (Menag, Mendikbud, Mendagri). Dengan
demikian lulusan madrasah disetarakan dengan lulusan sekolah umum
negeri.
Namun
demikian, setelah berjalannya proses kebijakan tersebut, terbukti masih
terdapat kelemahan-kelemahan, baik mutu pengajar, alumni (siswa) dan
materinya, sehingga cita-cita mencetak ulama yang handal kandas di tengah jalan. Halini terbukti masih dominannya lulusan pesantren dalam soal keagamaan.
Bahkan
lulusan madrasah dapat dikatakan serba tanggung, menjadi seorang
profesional pun tidak, ulama pun tidak, Tidak heran bila banyak suara
sumbang dan kritikan tajam bahwa SK bersama tiga menteri di atas hanya
sebuah upaya pengikisan Islam dan keilmuannya melalui jalur pendidikan.
Sehingga pada waktunya nanti Indonesia akan mengalami kelangkaan ulama.
Ini terbukti dengan menjauhnya masyarakat dari madrasah. Mereka lebih
bangga menyekolahkan anak-anaknya di sekolah-sekolah umum.
Alasannya
sederhana, lulusan madrasah sulit mencari pekerjaan dibanding lulusan
sekolah umum, walaupun pendapat ini tidak seluruhnya benar, tapi
demikianlah yang kini berkembang di masyarakat.Lebih ironi lagi,
pemerintah melarang alumni pondok pesantren non kurikulum pemerintah
untuk masuk IAIN. Alasannya karena mereka tidak memiliki ijazah negeri
atau karena ijazah pesantrennya tidak disetarakan dengan ijazah negeri.
Akibatnya
IAIN hanya diisi oleh lulusan-lulusan madrasah dan sekolah umum yang
note bone mutu pendidikan agamanya sangat minim. Padahal di
tengah-tengah suasana globalisasi dan keterbukaan, kwalitaslah yang
menjadi acuan, bukan formalitas.
Fenomena
di atas membuat beberapa pesantren mengadakan ujian persamaan negara
dan mengadopsi kurikulum pemerintah. Dan tentu saja segala konsekwensi
yang telah disebut di atas akan terjadi. Di samping karena hal itu
menjadi tuntutan masyarakat.
F. Pendidikan Islam Alternatif
Beberpa
studi empiris tentang pendidikan Islam di Indoensia menyimpulkan masih
terdapatnya beberapa kelemahan. Karena itu kini banyak ditemukan
beberapa lembaga pendidikan alternatif yang mengakomodir berbagai
tuntutan dan kebutuhan masyarakat.
Sekolah-sekolah
unggulan, SMP Plus, SMU Terpadu yang kini banyak berdiri merupakan
respon dari fenomena di atas. Tidak jarang kini ditemukan SMP atau SMU
yang berasrama seperti halnya pondok pesantren. Dipergunakannya nama
“SMP” dan “SMU” di atas hanya lebih karena dorongan kebutuhan market
(pasar). Sebab, nama pondok pesantren pada sebagian masyarakat masih
dianggap kolot dan ketinggalan zaman.
Bentuk
pendidikan ini dilengkapi dengan kurikulum yang tidak kalah dengan yang
terdapat pada pesantren dan sekolah umum. Terbukti adanya sejumlah
sekolah ini yang melahirkan “Huffadz” (penghafal al-Quran) padahal lahir
dari sebuah SMP atau SMA.
Di
sisi lain, bentuk lembaga ini merindukan pudarnya dikotomi antara ilmu
agama dan ilmu umum agar integritas keduanya berjalan bersama-sama
sebagaimana yang pernah ditemukan dunia Islam masa silam. Inilah mungkin
yang pernah diungkapkan oleh KH. Zainuddin MZ sebagai “Hati Mekkah,
Otak Jerman”. Walaupun semboyan ini tidak seluruhnya benar. Soalnya,
pendidikan Islam harus bersemboyan “Hati, Otak dan jiwa harus Islami”,
dan ini telah terbukti dengan lahirnya ilmuwan-ilmuuwan Islam di zaman
keemasan.
Kegiatan
belajar-mengajar di lembaga ini sama dengan pesantren, Ia juga
mempunyai nilai plus yang tidak didapatkan di sekolah umum biasa. Untuk
menghasilkan alumi yang handal, lembaga ini menyaring calon siswanya- dengan
ujian masuk yang ketat. Kemampuan IQ dan intelejensi menjadi prioritas
dalam menerima para siswa. Fasilitas yang memadai menjadi daya tarik
minat masyarakat walau harus membayar dengan harga tinggi. Hal ini
seiring dengan pertumbuhan ekonomi masyarakat. Bahkan sebagian lapisan
masyarakat merasa bangga dengan bayaran tinggi karena sesuai dengan mutu
dan fasilitas.
Apakah bentuk pendidikan ini telah berhasil dan dianggap sukses?. Belum
tentu, selain belum lahirnya para alumni model ini, sistem pendidikan
akan terus berubah sesuai dengan perkembangan masyarakat dan zaman.
Bahkan kemungkinan bentuk terakhir ini tidak mampu berjalan selama kurun
satu atau dua dasawarsa ke depan.
A. Kesimpulan
Dari
uraian diatas dapat disimpulkan bahwa lembaga-lembaga pendidikan Islam,
khususnya pesantren telah banyak memberikan andil bagi bangsa
Indoneisa, baik dahulu maupun kini. Kehandalan pondok pesantren selama
berabad-abad, walau dengan segala kesederhanaannya masih menjadi harapan
umat Islam sebagai benteng satu-satunya bagi umat Islam dan
kelimiahannya.
Walau
bagaimana tangguhnya sebuah pesantren ia harus tetap belajar dengan
lingkungan sekitarnya sambil melestarikan identitas keislamannya. Sistem
fiqih orientied yang diterapkan pada masa Ampel misalnya, pada zaman kini dirasa kurang berhasil melahirkan alumni yang iltizam dengan agamanya, terbukti adanya sebagian santri setelah lulus dari pesantrennya kurang mengamalkan ajaran agamanya.
Oleh
karena itu perlu adanya upaya memberi materi Islam secara kaffah, kamil
dan mutakamil. Sehingga pemahaman dan sikapnya terhadap Islam pun
bersifat komprehensif, dan tidak sepenggal-penggal.
Keanekaragaman
lembaga pendidikan Islam merupakan khazanah yang perlu dilestarikan.
Setiap lembaga mempunyai ciri khas dan orientasi masing-masing, namun
demikian harus ada satu komitmen, yaitu memberi pemahaman Islam secara
kaffah demi izzul Islam wal muslimin. Wallahu’alam
B. Keritik serta Saran
Penulis
menyadari betapa belum sempurnanya makalah ini. Karena itulah penulis
mengharapkan kritik serta saran dari para pembaca yang budiman,
sekiranya menemukan kesalahan serta kealpaan, baik dari segi
penulisannya maupun dari segi kebahasaannya.
Terlepas
dari kekurangan-kekurangan makalah ini, penulis berharap semoga makalah
ini bermanfaat bagi pembaca dan menjadi amal shaleh bagi penulis. Amiin
yaa Rabbal’alamin.
DAFTAR PUSTAKA
Jamhuri, Muhammad.1990.Sejarah dan Perkembangan Pendidikan Islam di Indonesia. Tangerang: Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Asy-Syukriyyah.
Siregar, Suryadi. 1996. Pondok Pesantren Sebagai Model Pendidikan Tinggi. Bandung: Kampus STMIK Bandung.