Shalat Jama' adalah mengumpulkan 2 (dua) shalat wajib yang dikerjakan dalam satu waktu yang sama. Shalat yang dapat dijama' adalah Maghrib dengan Isya, Dhuhur dengan Ashar. Dibolehkan seseorang itu merangkap shalat Dhuhur dengan 'Ashar, baik secara taqdim maupun ta'khir. begitu pun dibolehkan menjama' shalat Magrib dengan Isya.
Shalat Jama' ada 2 jenis:
1. Jama' Taqdim: mengumpulkan 2 (dua) waktu shalat yang dikerjakan pada waktu shalat yang terdahulu (dimajukan). Dhuhur dengan ashar dikerjakan pada waktu Dhuhur, Maghrib dengan Isya dikerjakan pada waktu Magrib..
2. Jama' Ta'khir : Mengumpulakn 2 (dua) waktu shalat yang belakang (dimundurkan) , yaitu: Dhuhur dengan Ashar dikerjakan pada waktu Ashar, Magrib dengan Isya dikerjakan pada waktu isya.
Saat dan Alasan Diperbolehkannya Menjama' Shalat
Menjama' di 'Arafah dan Muzdalifah. Para ulama sependapat bahwa menjama' shalat Dhuhur dan Ashar secara taqdim pada waktu Dzuhur di 'Arafah, begitupun antara Maghrib dan Isya' secara ta'khir di waktu 'Isya di Muzdalifah, hukumnya sunat, berpedoman kepada apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw .
Menjama' saat bepergian. Menjama' dua shalat ketika bepergian, pada salah satu waktu dari kedua shalat itu, menurut sebagian besar para ahli hukumnya boleh, tanpa ada perbedaan, apakah dilakukannya sewaktu berhenti, ataukah selagi dalam perjalanan. Diterima dari Mu'adz: "Bahwa Nabi saw. sewaktu perang Tabuk selalu menjama' Dhuhur dan 'Ashar bila berangkatnya itu sesudah tergelincirnya matahari, tetapi bila berangkatnya itu sebelum matahari tergelincir, maka shalat Dhuhur diundurkan beliau, dan dirangkapnya sekaligus dengan 'Ashar. Begitu pula dalam shalat maghrib, yaitu kalau beliau berangkat sesudah matahari tenggelam, dijama'nya magrib dengan Isya, tetapi kalau berangkatnya sebelum matahari tenggelam, diundurkannyalah Maghrib itu sampai waktu 'Isya dan dijama'nya dengan shalat 'Isya."[1]. Dan masih banyak lagi hadits mengenai hal ini.
Menjama' di waktu hujan. Dalam Sunannya, al-Atsram meriwayatkan dari Abu Salamah bin Abdurrahman, katanya: "Termasuk sunnah Nabi saw. menjama' shalat Maghrib dengan 'Isya, apabila hari hujan lebat." Dan Bukhari meriwayatkan pula bahwa: إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّىاللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَمَعَ بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِفِىلَيْلَةٍ مَطِيْرَةٍ (رواه البخارى "Nabi saw. menjama' shalat Maghrib dan 'Isya di suatu malam yang berhujan lebat." *
Baca Jugak Siksa Neraka dalam al-qur'an
Menjama' karena sakit atau ada uzur. Imam Ahmad Husein, al-Khattabi dan al-Mutawalli dari golongan Syafi'i membolehkan menjama', baik takdim atau ta'khir disebabkan sakit, dengan alasan karena kesukaran di waktu itu lebih besar dari kesukaran di waktu hujan. Ulama-ulama Hambali memperluas keringanan itu hingga membolehkan pula menjama' baik takdim maupun ta'khir karena berbagai macam halangan dan juga sedang dalam ketakutan. Mereka membolehkan untuk orang yang sedang menyusui bila sukar untuknya mencuci kain setiap hendak shalat, juga untuk wanita-wanita yang sedang istihadhah, orang yang tidak ditimpa silsalatul haul (kencing berkepanjangan), orang yang tidak dapat bersuci, yang menghawatirkan bahaya bagi dirinya, harta dan kehormatannya, juga bagi orang yang takut mendapatkan rintangan dalam mata pencaharian sekiranya ia meninggalkan jama'. Menurut Ibnu Taimiyah: "Mazhab yang paling luas dalam masalah jama' ini ialah mazhab Ahmad, sebab ia membolehkan orang menjama' bagi yang sedang sibuk bekerja, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Nasa'i yang marfu' bersumber kepada Nabi saw., sampai-sampai dibolehkannya pula menjama' bagi juru masak atau pembuat roti dan orang-orang lainnya yang takut hartanya menjadi rusak,"
Menjama' sebab ada keperluan. Dalam syarah Muslim, Nawawi berkata: "Beberapa imam membolehkan jama' bagi orang yang tidak musafir, bila ia ada suatu kepentingan, asal saja hal itu tidak dijadikannya kebiasaaan." Ini juga merupakan pendapat Ibnu Sirin dan Asy-hab dari golongan Maliki, dan menurut al-Khaththabi juga pendapat Qaffal dan Asy-Syasyil Kaabir dari golongan Syafi'i, juga Ishak Marwazi dari jama'ah ahli hadits, serta inilah yang dipilih Ibnul Mundzir. Hal ini dikuatkan oleh lahirnya ucapan Ibnu 'Abbas bahwa jama' itu dimaksudkan agar tidak menyukarkan umat, jadi tidak dijelaskan apakah karena sakit atau karena sebab-sebab lainnya. Hadits ibnu 'Abbas yang dimaksudkan ialah yang diriwayatkan oleh Muslim , sebagai berikut: جَمَعَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّىاللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِاْلمَدِيْنَةِ فِيْ غَيْرِ خَوْفٍ وَلاَمَطَرٍ. قِيْلَ لاِبْنِ عَبَّاسٍ: مَاذَاأَرَادَ بِذَلِكَ؟ أَرَادَأَلاَّ يُحْرِجَ أُمَّتَهُ (رواه بن مسلم عن ابن عباس. “Rasulullah SAW pernah menjama’ shalat dzuhur dan ashar serta maghrib dan isya’ di Madinah bukan karena keadaan ketakutan dan hujan”, lalu ditanyakan kepada Ibnu Abbas r.a: “kenapa Nabi SAW berbuat demikian?”, ujarnya “maksudnya ialah agar beliau tidak menyukarkan umatnya” [2]. Bukhari dan Muslim meriwayatkan pula dari Ibnu Abbas bahwa: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّىاللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّىبِالْمَدِيْنَةِ سَبْعًاوَثَمَانِيًّا: اَلظُّهْرَوَالْعَصْرَوَالمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ (رواه البخارىومسلم عن ابن عباس رضىاللّهعنه. “Sesungguhnya Nabi SAW bersembahyang di Madinah sebanyak tujuh dan delapan raka’at, yakni masing-masing menjama’ dzuhur dan ashar serta maghrib, isya’”. Dalam riwayat lain dibawakan dengan lafadh: ﺟَﻤَﻊَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺑَﻴْﻦَ ﺍﻟﻈُّﻬْﺮِ ﻭَﺍﻟْﻌَﺼْﺮِ، ﻭَﺍﻟْﻤَﻐْﺮِﺏِ ﻭَﺍﻟْﻌِﺸَﺎﺀِ ﺑِﺎﻟْﻤَﺪِﻳﻨَﺔِ، ﻓِﻲ ﻏَﻴْﺮِ ﺧَﻮْﻑٍ، ﻭَﻟَﺎ ﻣَﻄَﺮٍ “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah menjamakshalat Dhuhur dan ‘Ashar, serta shalat Maghrib dan ‘Isyaa’ di Madiinah bukan karena ketakutan maupun hujan” [idem no.705 (54)]. Allahu a'lam.
Baca juga gambaran surga dalam al-qur'an
* Pendapat Madzhab Mengenai Jama' Di Waktu Hujan
Golongan Syafi'i: membolehkan seseorang mukim menjama' shaalt Dhuhur dengan 'Ashar dan Maghrib dengan 'Isya secara takdim saja, dengan syarat adanya hujan ketika membaca takbiratul ihram dalam shalat yang pertama sampai selesai, dan hujan masih turun ketika memulai shalat yang kedua.
Menurut Maliki: boleh menjama' taqdim dalam mesjid antara Maghrib dengan 'Isya disebabkan adanya hujan yang telah atau akan turun, juga boleh dikerjakan karena banyak lumpur di tengah jalan dan malam sangat gelap, hingga menyukarkan orang buat memakai alas kaki. menjama' shalat Dhuhur dan 'Ashar karena hujan ini, dimakruhkan.
Golongan Hambali: boleh menjama' Maghrib dengan 'Isya saja, baik secara taqdim maupun ta'khir, disebabkan adanya salju, lumpur, dingin yang amat sangat serta hujan yang membasahkan pakaian. keringanan ini hanya khusus bagi orang yang bershalat jama'ah di mesjid yang datang dari tempat yang jauh, hingga dengan adanya hujan dan sebagainya itu terhalang dalam perjalanan. Bagi orang yang rumahnya dekat masjid atau yang bershalat jama'ah di rumah saja, atau ia dapat pergi ke mesjid dengan melindungi tubuh, maka ia tidak boleh menjama.'
Jika Uzur Telah Hilang Apakah Shalatnya Perlu di Ulang?
Dalam buku al-Mughni tersebut: "Seseorang yang sudah selesai melakukan dua shalat dalam waktu pertama (jama' takdim), kemudian ternyata bahwa uzur atau halangan itu telah tak ada lagi, sedang waktu shalat yang kedua belum masuk, maka shalat jama'nya tadi sudah mencukupi dan tak perlu mengerjakan shalat yang kedua itu pada waktunya. Sebabnya ialah karena shalatnya sudah sah dan cukup memenuhi syarat. Maka tanggung-jawabnya sudah selesai, karena kewajibannya telah diselesaikannnya selagi ia masih dalam uzur, hingga tak kan batal disebabkan hilangnya uzur itu. Ini sama halnya dengan oerang yang bertayamum dan menemukan air setelah selesai shalat.
Semoga bermanfaat.
ﺳُﺒْﺤَﺎﻧَﻚَ ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﻭَﺑِﺤَﻤْﺪِﻙَ ﺃَﺷْﻬَﺪُ ﺃَﻥْ ﻻَ ﺇِﻟﻪَ ﺇِﻻَّ ﺃَﻧْﺖَ ﺃَﺳْﺘَﻐْﻔِﺮُﻙَ ﻭَﺃَﺗُﻮْﺏُ ﺇِﻟَﻴْﻚ
Artinya: “Maha suci Engkau ya Allah, dan segala puji bagi-Mu. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Engkau. Aku mohon ampun dan bertaubat kepada-Mu.”
Sumber:
Fikih Sunnah jilid 2, 277-285, Sayyid Saabiq, Penerbit: PT.Al-Ma'arif-Bandung.
[1]. Diriwayatkan oleh Abu Daud serta Turmudzi yang menyatakan bahwa hadits ini adalah hadits hasan.
[2].(HR. Muslim)
Artikel by:al-inaya.blogspot.co.id
Menjama' karena sakit atau ada uzur. Imam Ahmad Husein, al-Khattabi dan al-Mutawalli dari golongan Syafi'i membolehkan menjama', baik takdim atau ta'khir disebabkan sakit, dengan alasan karena kesukaran di waktu itu lebih besar dari kesukaran di waktu hujan. Ulama-ulama Hambali memperluas keringanan itu hingga membolehkan pula menjama' baik takdim maupun ta'khir karena berbagai macam halangan dan juga sedang dalam ketakutan. Mereka membolehkan untuk orang yang sedang menyusui bila sukar untuknya mencuci kain setiap hendak shalat, juga untuk wanita-wanita yang sedang istihadhah, orang yang tidak ditimpa silsalatul haul (kencing berkepanjangan), orang yang tidak dapat bersuci, yang menghawatirkan bahaya bagi dirinya, harta dan kehormatannya, juga bagi orang yang takut mendapatkan rintangan dalam mata pencaharian sekiranya ia meninggalkan jama'. Menurut Ibnu Taimiyah: "Mazhab yang paling luas dalam masalah jama' ini ialah mazhab Ahmad, sebab ia membolehkan orang menjama' bagi yang sedang sibuk bekerja, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Nasa'i yang marfu' bersumber kepada Nabi saw., sampai-sampai dibolehkannya pula menjama' bagi juru masak atau pembuat roti dan orang-orang lainnya yang takut hartanya menjadi rusak,"
Menjama' sebab ada keperluan. Dalam syarah Muslim, Nawawi berkata: "Beberapa imam membolehkan jama' bagi orang yang tidak musafir, bila ia ada suatu kepentingan, asal saja hal itu tidak dijadikannya kebiasaaan." Ini juga merupakan pendapat Ibnu Sirin dan Asy-hab dari golongan Maliki, dan menurut al-Khaththabi juga pendapat Qaffal dan Asy-Syasyil Kaabir dari golongan Syafi'i, juga Ishak Marwazi dari jama'ah ahli hadits, serta inilah yang dipilih Ibnul Mundzir. Hal ini dikuatkan oleh lahirnya ucapan Ibnu 'Abbas bahwa jama' itu dimaksudkan agar tidak menyukarkan umat, jadi tidak dijelaskan apakah karena sakit atau karena sebab-sebab lainnya. Hadits ibnu 'Abbas yang dimaksudkan ialah yang diriwayatkan oleh Muslim , sebagai berikut: جَمَعَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّىاللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِاْلمَدِيْنَةِ فِيْ غَيْرِ خَوْفٍ وَلاَمَطَرٍ. قِيْلَ لاِبْنِ عَبَّاسٍ: مَاذَاأَرَادَ بِذَلِكَ؟ أَرَادَأَلاَّ يُحْرِجَ أُمَّتَهُ (رواه بن مسلم عن ابن عباس. “Rasulullah SAW pernah menjama’ shalat dzuhur dan ashar serta maghrib dan isya’ di Madinah bukan karena keadaan ketakutan dan hujan”, lalu ditanyakan kepada Ibnu Abbas r.a: “kenapa Nabi SAW berbuat demikian?”, ujarnya “maksudnya ialah agar beliau tidak menyukarkan umatnya” [2]. Bukhari dan Muslim meriwayatkan pula dari Ibnu Abbas bahwa: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّىاللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّىبِالْمَدِيْنَةِ سَبْعًاوَثَمَانِيًّا: اَلظُّهْرَوَالْعَصْرَوَالمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ (رواه البخارىومسلم عن ابن عباس رضىاللّهعنه. “Sesungguhnya Nabi SAW bersembahyang di Madinah sebanyak tujuh dan delapan raka’at, yakni masing-masing menjama’ dzuhur dan ashar serta maghrib, isya’”. Dalam riwayat lain dibawakan dengan lafadh: ﺟَﻤَﻊَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺑَﻴْﻦَ ﺍﻟﻈُّﻬْﺮِ ﻭَﺍﻟْﻌَﺼْﺮِ، ﻭَﺍﻟْﻤَﻐْﺮِﺏِ ﻭَﺍﻟْﻌِﺸَﺎﺀِ ﺑِﺎﻟْﻤَﺪِﻳﻨَﺔِ، ﻓِﻲ ﻏَﻴْﺮِ ﺧَﻮْﻑٍ، ﻭَﻟَﺎ ﻣَﻄَﺮٍ “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah menjamakshalat Dhuhur dan ‘Ashar, serta shalat Maghrib dan ‘Isyaa’ di Madiinah bukan karena ketakutan maupun hujan” [idem no.705 (54)]. Allahu a'lam.
Baca juga gambaran surga dalam al-qur'an
* Pendapat Madzhab Mengenai Jama' Di Waktu Hujan
Golongan Syafi'i: membolehkan seseorang mukim menjama' shaalt Dhuhur dengan 'Ashar dan Maghrib dengan 'Isya secara takdim saja, dengan syarat adanya hujan ketika membaca takbiratul ihram dalam shalat yang pertama sampai selesai, dan hujan masih turun ketika memulai shalat yang kedua.
Menurut Maliki: boleh menjama' taqdim dalam mesjid antara Maghrib dengan 'Isya disebabkan adanya hujan yang telah atau akan turun, juga boleh dikerjakan karena banyak lumpur di tengah jalan dan malam sangat gelap, hingga menyukarkan orang buat memakai alas kaki. menjama' shalat Dhuhur dan 'Ashar karena hujan ini, dimakruhkan.
Golongan Hambali: boleh menjama' Maghrib dengan 'Isya saja, baik secara taqdim maupun ta'khir, disebabkan adanya salju, lumpur, dingin yang amat sangat serta hujan yang membasahkan pakaian. keringanan ini hanya khusus bagi orang yang bershalat jama'ah di mesjid yang datang dari tempat yang jauh, hingga dengan adanya hujan dan sebagainya itu terhalang dalam perjalanan. Bagi orang yang rumahnya dekat masjid atau yang bershalat jama'ah di rumah saja, atau ia dapat pergi ke mesjid dengan melindungi tubuh, maka ia tidak boleh menjama.'
Jika Uzur Telah Hilang Apakah Shalatnya Perlu di Ulang?
Dalam buku al-Mughni tersebut: "Seseorang yang sudah selesai melakukan dua shalat dalam waktu pertama (jama' takdim), kemudian ternyata bahwa uzur atau halangan itu telah tak ada lagi, sedang waktu shalat yang kedua belum masuk, maka shalat jama'nya tadi sudah mencukupi dan tak perlu mengerjakan shalat yang kedua itu pada waktunya. Sebabnya ialah karena shalatnya sudah sah dan cukup memenuhi syarat. Maka tanggung-jawabnya sudah selesai, karena kewajibannya telah diselesaikannnya selagi ia masih dalam uzur, hingga tak kan batal disebabkan hilangnya uzur itu. Ini sama halnya dengan oerang yang bertayamum dan menemukan air setelah selesai shalat.
Semoga bermanfaat.
ﺳُﺒْﺤَﺎﻧَﻚَ ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﻭَﺑِﺤَﻤْﺪِﻙَ ﺃَﺷْﻬَﺪُ ﺃَﻥْ ﻻَ ﺇِﻟﻪَ ﺇِﻻَّ ﺃَﻧْﺖَ ﺃَﺳْﺘَﻐْﻔِﺮُﻙَ ﻭَﺃَﺗُﻮْﺏُ ﺇِﻟَﻴْﻚ
Artinya: “Maha suci Engkau ya Allah, dan segala puji bagi-Mu. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Engkau. Aku mohon ampun dan bertaubat kepada-Mu.”
Sumber:
Fikih Sunnah jilid 2, 277-285, Sayyid Saabiq, Penerbit: PT.Al-Ma'arif-Bandung.
[1]. Diriwayatkan oleh Abu Daud serta Turmudzi yang menyatakan bahwa hadits ini adalah hadits hasan.
[2].(HR. Muslim)
Artikel by:al-inaya.blogspot.co.id