Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Berikut beberapa kesimpulan mengenai konsep rizki dalam islam,
Pertama, semua makhluk – yang berakal maupun yang tidak berakal – rizkinya telah dijamin oleh Allah.
Ada banyak dalil yang menunjukkan hal ini. Diantaranya, firman Allah,
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا
Tidak ada satupun yang bergerak di muka bumi ini kecuali Allah yang menanggung rizkinya. (QS. Hud: 6).
Dalam hadis dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bercerita tentang proses penciptaan manusia.
ثُمَّ يُرْسَلُ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيهِ الرُّوحَ وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِىٌّ أَوْ سَعِيدٌ
“Kemudian diutus malaikat ke janin untuk meniupkan ruh dan diperintahkan untuk mencatat 4 takdir, takdir rizkinya, ajalnya, amalnya dan kecelakaan atau kebahagiaannya.” (HR. Muslim 6893).
Turunan dari prinsip ini bahwa siapapun anggota keluarga yang nafkahnya menjadi tanggung jawab kita, hakekatnya yang memberi rizki mereka adalah Allah dan bukan kepala keluarga. Kepala keluarga yang bekerja hanya perantara untuk rizki yang Allah berikan bagi anak-anaknya.
Ibnu Katsir menceritakan,
Ada seseorang yang mengadu kepada Ibrhim bin Adham – ulama generasi tabi’ tabi’in – karena anaknya yang banyak. Kemudian beliau menyampaikan kepada orang ini,
اِبعَثْ إِلَيَّ مِنهُمْ مَنْ لَيْسَ رِزْقُهُ عَلَى اللهِ، فَسَكَتَ الرَّجُل
“Anakmu yang rizkinya tidak ditanggung oleh Allah, silahkan kirim ke sini.” Orang inipun terdiam. (al-Bidayah wa an-Nihayah, 13/510)
Catatan:
Prinsip ini tidak mengajarkan agar kita berpangku tangan dan diam tidak bekerja. Dengan anggapan semua telah ditaqdirkan. Ada beberapa alasan untuk membantah pendapat ini,
[1] Benar rizki manusia telah ditaqdirkan, tapi taqdir itu rahasia Allah, yang tidak kita ketahui. Sementara sesuatu yang tidak kita ketahui, tidak boleh dijadikan alasan.
[2] Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa tawakkal tidak menghilangkan ikhtiyar (usaha mencari rizki). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَوْ أَنَّكُمْ تَوَكَّلْتُمْ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا
“Seandainya kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakal, niscaya Allah akan memberikan rezeki kepada kalian sebagaimana Dia memberi rezeki kepada seekor burung, yang keluar pada pagi hari dalam keadaan lapar lalu sore harinya pulang dalam keadaan kenyang.” (HR. Turmudzi 2344, Ibn Hibban 730 dan dihasankan Syuaib al-Arnauth).
Imam Ahmad menjelaskan,
“Hadis ini tidak menunjukan bolehnya berpangku tangan tanpa berusaha. Bahkan padanya terdapat perintah mencari rezeki. Karena burung tatkala keluar dari sarangnya di pagi hari demi mencari rezeki.”
Kedua, setiap jiwa tidak akan mati sampai dia menghabiskan semua jatah rizkinya. Sehingga siapapun yang hidup pasti diberi jatah rizki oleh Allah sampai dia mati.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَيُّهَا النَّاسُ ، إِنَّ أَحَدَكُمْ لَنْ يَمُوتَ حَتَّى يَسْتَكْمِلَ رِزْقَهُ ، فَلا تَسْتَبْطِئُوا الرِّزْقَ ، اتَّقُوا اللَّهَ أَيُّهَا النَّاسُ ، وَأَجْمِلُوا فِي الطَّلَبِ ، خُذُوا مَا حَلَّ ، وَدَعُوا مَا حَرُمَ
“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya kalian tidak akan mati sampai sempurna jatah rezekinya, karena itu, jangan kalian merasa rezeki kalian terhambat dan bertakwalah kepada Allah, wahai sekalian manusia. Carilah rezeki dengan baik, ambil yang halal dantinggalkan yang haram.” (HR. Baihaqi dalam sunan al-Kubro 9640, dishahihkan Hakim dalam Al-Mustadrak 2070 dan disepakati Ad-Dzahabi)
Syaikh Shalih al-Maghamisi dalam sebuah ceramahnya menceritakan ada seorang lelaki jatuh ke dalam sumur. Ia pun berteriak minta tolong. lalu berhasil mengeluarkan orang itu dari sumur dalam keadaan selamat. Sesorang menyodorkan kepadanya segelas susu untuk diminimumnya dan menenangkann keadaanya.
Setelah tenang orang-orang bertanya,”Bagaimana bisa Anda jatuh ke dalam sumur.?”
Mulailah orang itu bercerita, lalu ia berdiri di bibir sumur untuk mempraktikan kronologi saat ia terjatuh kedalam sumur.Qodarullah, tanpa di sengaja orang itu terjatuj lagi ke dalam sumur dan akhirnya mati.
Orang itu diselamatkan oleh Allah karena masih tersisa jatah rezekinya di dunia, yakni satu gelas susu untuknya. Maka setelah jatah rezeki disempurnakan untuknya, ia terjatuh di tempat yang sama kemudian mati.
Ketiga, hakekat dari rizki kita adalah apa yang kita konsumsi dan yang kita manfaatkan. Sementara yang kita kumpulkan belum tentu menjadi jatah rizki kita.
Dalam hadis dari Abdullah bin Sikhir radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَقُولُ ابْنُ آدَمَ مَالِى مَالِى – قَالَ – وَهَلْ لَكَ يَا ابْنَ آدَمَ مِنْ مَالِكَ إِلاَّ مَا أَكَلْتَ فَأَفْنَيْتَ أَوْ لَبِسْتَ فَأَبْلَيْتَ أَوْ تَصَدَّقْتَ فَأَمْضَيْتَ
Manusia selalu mengatakan, “Hartaku… hartaku…” padahal hakekat dari hartamu – wahai manusia – hanyalah apa yang kamu makan sampai habis, apa yang kami gunakan sampai rusak, dan apa yang kamu sedekahkan, sehingga tersisa di hari kiamat. (HR. Ahmad 16305, Muslim 7609 dan yang lainnya).
Karena itu, sekaya apapun manusia, sebanyak apapun penghasilannya, dia tidak akan mampu melampaui jatah rizkinya.
Orang yang punya 1 ton beras, dia hanya akan makan sepiring saja. Orang yang memiliki 100 mobil, dia hanya akan memanfaatkan 1 mobil saja. Orang yang memiliki 100 rumah, dia hanya akan menempati 1 ruangan saja…Padahal semua yang kita kumpulkan, sudah pasti akan dihisab oleh Allah..(al-Inaya/Ks)
Demikian, Allahu a’lam.