Sunday, July 8, 2018

Shalat Ghaib untuk Korban Kapal Tenggelam yang Hilang

Apakah kita disyariatkan melakukan shalat ghaib untuk korban kapal tenggelam yang belum ditemukan?


Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Dalam hadis dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, beliau menceritakan,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَعَى النَّجَاشِيَّ فِي الْيَوْمِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ خَرَجَ إِلَى الْمُصَلَّى فَصَفَّ بِهِمْ وَكَبَّرَ أَرْبَعًا

“Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumumkan kematian raja an-Najasyi pada hari kematiannya. Kemudian beliau keluar menuju tempat shalat lalu beliau membariskan shaf kemudian bertakbir empat kali.” (HR.  Bukhari 1337)

Ulama berbeda pendapat mengenai anjuran shalat ghaib.

Imam Abu Hanifah dan Imam Malik berpendapat shalat ghaib tidak disyariatkannya sama sekali. Adapun shalat ghaib yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk raja an-Najasyi, itu kekhususan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tidak bisa diikuti oleh umatnya.

Mereka berdalil dengan sebuah lafazh dalam riwayat lain hadis ini,

“Bahwasanya bumi ini telah diratakan sehingga beliau dapat melihat tempat An-Najasyi berada.”

Kalimat ini menunjukkan bahwa itu bagian dari mukjizat. Sehingga keadaan beliau ibarat sedang berdiri di depan jenazah.

Di samping itu, tidak dijumpai riwayat dimana beliau melakukan shalat ghaib kepada seorang pun selain kepada raja an-Najasyi. Ini menunjukkan bahwa shalat ghaib adalah amalan yang khusus.

Sementara ulama lainnya berpendapat bahwa shalat ghaib disyariatkan. Meskipun mereka berbeda pendapat, apakah disyariatkan secara mutlak ataukah dengan batasan tertentu?

Pertama, Imam Asy-Syaifi’i dan Ahmad berpendapat disyariatkan shalat ghaib secara mutlak untuk semua jenazah yang meninggal di tempat jauh. Meskipun jenazah tersebut sudah dishalati.  Mereka berdalil dengan hadis Abu Hurairah di atas, dan menyatakan hadis itu berlaku mutlak dan umum untuk semuanya.

Kedua, Shalat ghaib hanya disyariatkan untuk jenazah yang mempunyai sifat seperti An-Najasyi. Sifat yang dimaksud adalah seorang yang shalih, mempunyai kedudukan, dan memiliki peran penting dalam Islam dan berjasa bagi kaum muslimin. Ini merupakan pendapat Imam Ahmad dalam riwayat yang lain, dan pendapat yang dinilai lebih kuat oleh Syaikh Ibnu Baz rahimahullah sebagaimana yang dinyatakan dalam Fatawa beliau (13/159).

Ketiga, Shalat ghaib hanya disyariatkan untuk semua jenazah kaum muslimin yang tidak dishalati seperti an-Najasyi. Misalanya, meninggal di negeri kafir sehingga tidak ada yang menyalati atau meninggal di tempat terpencil yang tidak ada seorang pun yang menyalatinya, atau hilang ketika kasus kecelakaan. Seperti peawat hilang atau kapal tenggelam.

Syaikhul Islam mengatakan,

أنّ الغائب إِن مات ببلدٍ لم يُصَلَّ عليه فيه، صُلّي عليه صلاةَ الغائب، كما صلّى النّبيّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – على النجاشي؛ لأنه مات بين الكُفار ولم يصلَّ عليه.

“Orang yang hilang, ketika dia mati di sebuah daerah dan dia tidak dishalati, maka jenazah ini dishalati dengan shalat ghaib. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat ghaib untuk Raja Najasyi. Karena beliau meninggal di tengah orang kafir dan beliau belum dishalati.

Kemudian beliau melanjutkan,

وإنْ صُلّي عليه -حيث مات- لم يصلَّ عليه صلاة الغائب؛ لأنّ الفرض سقط بصلاة المسلمين عليه، والنّبيّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – صلّى على الغائب وتَرَكَهُ، وفِعْلُهُ وتَرْكُه سُنّة، … والله أعلم.

Jika jenazah itu sudah dishalati di tempat dia meninggal, maka tidak perlu dishalati ghaib. Karena kewajiban shalat jenazah sudah gugur, ketika sudah ada kaum muslimin yang menshalatinya. Sementara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan shalat ghaib (untuk jenazah tertentu) dan beliau tidak melakukan shalat ghaib untuk jenazah yang lain. Dan semua di dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan yang sengaja ditinggalkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. .. Allahu a’lam

Dan pendapat ini juga dinilai lebih kuat oleh al-Khattabi, sebagaimana keterangan beliau dinukil oleh al-Hafidz Ibnu Hajar,

لا يُصَلَّى عَلَى الْغَائِبِ إلا إذَا وَقَعَ مَوْتُهُ بِأَرْضٍ لَيْسَ فِيهَا مَنْ يُصَلِّي عَلَيْهِ , وَاسْتَحْسَنَهُ الرُّويَانِيُّ من الشافعية

Jenazah muslim yang hilang tidak dishalati kecuali jika dia meninggal di negeri yang di sana tidak ada orang yang menshalatinya. Pendapat ini dinilai lebih kuat oleh ar-Ruyani dari kalangan Syafiiyah. (Fathul Bari, 3/188)

InsyaaAllah pendapat ini yang lebih mendekati. Karena itu, korban kapal tenggelam yang belum ditemukan, kaum muslimin setempat agar berusaha untuk mencarinya. Jika tidak lagi memungkinkan untuk ditemukan, maka pihak keluarga atau kaum muslimin lainnya, disyariatkan untuk melakukan shalat ghaib untuknya. (Al-Inaya/ Ks)Allahu a’lam.