Monday, April 23, 2018

KISAH SANTRI YANG DI LAMAR KIAI

Saat ini, aku sedang ngarit di sawah. Mencari rumput-rumput untuk kebutuhan pakan kambing-kambing yang ada di pesantren. Kambing-kambing yang juga milik pangersa guru.
Aku ngarit tidak sendiri. Saat ini, aku ditemani Jajang dan Engkus. Dua orang santri yang hari ini sama-sama mendapat tugas piket untuk mencari pakan kambing.
Bedanya, karungku belum penuh terisi. Sesangkan karung milik Jajang sudah penuh terisi. Bahkan ia sudah mulai mengisi karung kedua. Begitu pun Engkus. Keduanya lebih cekatan hari ini.

Sedangkan aku? Karungku masih kosong. Mungkin saat ini baru seperempatnya terisi. Ah, ngarit pagi ini terasa ngaret. Mungkin karena aku kebanyakan telponan dengan Siska.
Siska adalah putri bungsu Kang Haji Burhan, tetangga ku di kampung halaman. Ia adalah gadis yang lucu dan baik hati. Entah kenapa ia sering sekali menghubungiku. Siska paling pintar membuat puisi. Hampir tiap minggu ia membuat puisi. Puisi-puisinya itu biasa ia muat di facebook. Dan aku sering ditag, ditandai.


Aku suka puisinya. Puisi karya gadis yang saat ini sedang kuliah, S1 jurusan Manajemen Keuangan di salah satu Universitas Islam Negeri di Bandung.
***
Sepertinya, aku harus mempercepat kerjaanku. Biar karungnya cepat terisi. Lagi pula, nanti siang ada banyak kerjaan lain yang harus aku selesaikan.
"Jang, itu karungmu kok cepet penuh? Kamu isi babadotan sama daun karikil, ya?" tanyaku bergurau.
Santri memang suka bergurau.
[baca tentang sahabat ahli fiqih
"Bener pisan," katanya.
"Atuh.. Itu sekalian sikat aja padi Pak Mahmud, biar cepet penuh, da kambing juga doyan daun padi mah," kataku menggoda.
"Ah, Akang mah nyuruh ke jalan yang benar.." sahutnya.
Tak lama, hapeku kembali berbunyi. Ada panggilan masuk. Kuangkat, kudengarkan suaranya.
Kali ini bukan dari Siska. Tapi dari Kang Subang. Ia adalah Ro’is Santri, atau ketuanya para santri di pesantren. Ia menyuruhku untuk menunda pekerjaanku dan segera bergegas kembali ke pesantren. Katanya, aku dicari oleh Pangersa Guru. Aku disuruh untuk bergabung dengan para santri lainnya di madrasah, pengajian.

Sontak aku pun merasa heran. Entah kenapa pangersa guru memanggilku untuk hadir di pengajian. Tidak seperti biasanya. Pedahal saat ini aku sedang giliran piket ngarit.Jika sedang piket begini, biasanya bolos pengajian pun dimaklum. Tapi mengapa kali ini Pangersa Guru malah menyuruhku untuk berhenti mencari rumput dan memerintahkanku ikut di pengajian?

Tanpa ingin membuat Pangersa Guru menunggu terlalu lama, aku langsung bergegas kembali ke Pesantren. Aku pamitan pada Jajang dan Engkus. Sesampainya di kobong, aku segera mengganti pakaianku. Dandanan ala tukang ngarit aku ganti dengan sarung, kemeja, dan peci hitam sebagaimana layaknya santri yang akan mengikuti pengajian.
Dengan menenteng tafsir As-Showi dan Alfiyah Ibnu Malik, Aku langsung menuju madrasah. Sambil berjalan bungkuk, aku mengendap-ngendap perlahan masuk ke madrasah dari arah pintu samping. Kulihat para santri lain memperhatikan kedatanganku. Sepertinya mereka keheranan melihatku datang, begitu saja, di tengah pengajian yang sedang berlangsung.

Biasanya, tak ada santri yang berani datang telat dan memaksakan masuk ketika pengajian sedang berlangsung. Jika memang sudah terlanjur telat, biasanya, para santri lebih memilih tidak ikut pengajian sekalian. Ketimbang harus masuk ke madrasah. Hal ini karena budaya disiplin dan penanaman rasa malu akibat datang terlambat yang ujungnya bisa menggangu kegiatan pengajian.

Keringat panas mulai menetes dari sekujur tubuhku. Satu sisi, aku malu. Di sisi lain, aku memang diperintah pangersa Guru untuk ikut pengajian. Kulihat semua mata tertuju padaku. Kekhusyuan pengajian memang agak terganggu. Pangersa guru yang sedang memberikan pemaparan pun berhenti sejenak. Namun beliau nampak memandangku dengan penuh sambut. Raut wajahnya terlihat begitu berseri, matanya berbinar. Entah apa.

Aku merasa lebih tenang, meski masih menyisakan tanda tanya. Entah mimpi apa aku semalam? Hingga hari ini bisa melihat ekspresi pangersa guru yang tidak biasa padaku. Lebih merdu. Tak lama, aku pun duduk. Berusaha bersikap seperti biasa. Seolah tidak terjadi apa-apa.

Pangersa guru pun melanjutkan lagi kajian tafsir As-Showinya. Aku ikut kembali mendengarkan kajiaannya kala itu, tafsir Showi yang dikaji adalah surat An-Nahl ayat 43-44. Seperti biasa, pangersa Guru senantiasa melangit memaparkan sebuah kajian. Sering memberikan kekaguman bagi para santrinya. Kehebatan beliau dalam mengeluarkan argumen yang disandaarkan pada sumber-sumber hukum islam memang tidak diragukan lagi. Ilmiah.

Hingga akhirnya, kajian tafsir As-Showi di pagi itu selesai juga. Selanjutnya tersisa satu kajian kitab lagi. Kajian Alfiyah Ibnu Malik. Para santri mulai mempersiapkan kitab kajian mereka masing-masing. Sebenarnya, meski kajian selanjutnya adalah Alfiyah ibnu malik, namun kitab yang aku bawa saat itu adalah Al-Khudori yang merupakan Hasyiah Ibnu Aqil. Karena Alfiyyah Ibnu Malik merupakan kitab khulasoh, berupa matan yang berisi syair-syair nadhoman.

Santri lain pun memang membawa kitab syarah. Ada yang membawa kitab yang sama seperti kitab yang aku bawa, ada juga yang membawa syarah Alfiyyah lain seperti ibnu Aqil, Hamdun, Asmuni, tashilul masalik, Dan lainnya.

Namun lama berselang, pangersa guru nampak belum juga memulai pengajian sesi kedua. Beliau hanya terlihat merenung sambil berwirid. Itu terlihat dari bibirnya yang menari. Ia sesekali menengok ke area tempat duduk santri putri yang memang bersebelahan dengan area tempat duduk santri putra. Di sana, memang ada Santri Putri yang juga sama-sama mengaji.

Santri lain terlihat mulai heran. Mereka sepertinya mulai merasakan keanehan yang terjadi pada pangersa guru. Tak biasanya pangersa Guru melakukan jeda pengajian yang terlalu lama. Beberapa santri nampak saling melirik menyikapi keanehan ini. Ada pula yang terlihat jenuh sambil menundukan kepalanya. Tapi ada pula yang menyikapinya santai sembari menggores-goreskan pena pada hamparan sejadah.

Aku sendiri berusaha tenang. Duduk bersandar pada tembok yang ada di belakangku sembari memperhatikan keadaan. Setelah beberapa saat berlalu, lautan keheningan itu tiba-tiba kembali hidup. Suara pangersa guru akhirnya memecah sunyi. Pandangan para santri saat itu langsung tertuju pada pangersa guru. Menyimak, mencermati, dan mendengarkan alur suara yang beliau serukan.

“Barudak.." katanya.
Pangersa guru nampak terlihat sumbringah "Abah mau memberikan pengumuman pada kalian. Mengenai putri abah, Neng Ulfah. Sudah lama Abah ingin menikahkan puteri Abah itu. Namun sepertinya belum ada yang cocok," katanya.

"Tapi, sepertinya, ada salah satu dari kalian yang sudah Abah taksir, dan juga puteri abah sepertinya merasa cocok. Wayahna, ku abah diumumkan sekarang. Dan kalau bisa besok lusa bisa langsung menikah dengan puteri Abah. Ieu panyungkeun ti Abah. Nu kasebat ku Abah cing Ridho."

"Ku Abah diumumkan, karena ini mendesak, berhubung Abah kan harus berangkat ke tanah suci. Abah ingin puteri Abah menikah terlebih dahulu berdasarkan hitungan Abah. Dan kalian pun tentunya harus melakukan persiapan hajat untuk pernikahannya besok lusa," Seru abah yang kemudian membuat suasana agak riak.

Para santri terlihat saling berbisik dan saling melirik. Ada yang saling tebak. Namun ada juga yang langsung tegang dan memasang muka penasaran sembari menduga-duga santri mana yang beruntung mendapatkan Neng Ulfah.

Memang selama ini Neng Ulfah menjadi idola para santri. Banyak santri yang menaruh hati pada anak perempuan satu-satunya yang dimiliki pangersa abah. Dia pintar dan sudah hafal Al-Qur’an tiga puluh juz di luar kepala. Gadis yang menurut Abah usianya sekitar dua puluh satu tahunan itu sudah dimasukan ke pesantren Al-Qur’an yang berada di jawa sejak usia empat belas tahun.

Kecantikannya memikat semua orang. Tidak sedikit para kiyai besar berdatangan untuk menjadikan Neng Ulfah sebagai menantu. Namun abah sering menolak dengan alasan tidak ingin memaksakan kehendak pribadi. Beliau selalu memusyawarahkan pilihannya dengan pilihan Neng Ulfah. Keputusannya memilih menantu selalu di digantungkan pula dengan pilihan putri kesayangannya tersebut abah yang memiliki gaya bijaksana dan tegas ini langsung melanjutkan kembali pembicaraannya. Ia membuat para santri menjadi penasaran.

“Bismillahirrohmanirrahim.. Kalayan ngarep rahmat ti gusti Allah, Abah nangtoskeun pilihan. Mangga, Mang Zakaria.. Kapayun..!” tegas abah.

Deug! Langit gonjang-ganjing. Dordar geulap hatiku sosorodotan. Dari dua ratusan santri putera yang ada di pesantren ini hanya aku satu-satunya santri yang memiliki nama Zakaria. Nama yang diberikan ayahku sewaktu kecil itu kini terlontar dari mulut pangersa guru.

Sungguh, Jantungku terasa kukurumuyan mendengarnya. Keringat pedas bercucuran dari sekujur tubuhku. Kulihat semua mata sontak terpusat padaku. Ya, semua jenis mata itu meracun padaku bersama keheningan yang kembali nganga. Dan aku terpaku dalam posisiku, kaku. Yang kurasa hanya getaran panas tiris bergelora. Nuansa ingin kencing di sebalik celana dalamku menyembul.

Kudengar pangersa guru memanggil kembali namaku sembari matanya yang berbinar tertuju padaku. Aku bingung harus bagaimana. Yang jelas aku hanya merasakan tekanan yang begitu dalam.

Disela-sela kebingunganku tiba-tiba Kang Jamal bangkit dari tempat duduknya. Putra pertama pangersa guru itu menghampiriku dan menepuk pundakku sembari berbisik.

“Calon adik ipar, hayu kapayun..!”. Bisik Kang Jamal sembari tersenyum padaku.

Sungguh hal tersebut membuatku merasa bagaikan petir. Entah harus senang ataukah sedih. Aku bingung. Bagiku, ini berat kang Jamal kemudian menuntunku bangkit. Ia memapahku menuju pangersa guru. Kulihat pangersa guru bangkit dan menyambutku. Rona senyum tersurat di bibirnya. Sambutan hangatnya berlanjut pada rangkulan kasih yang kuterima dari beliau Lantas aku berdiri menghadap ke arah para santri yang terlihat menghampar di depanku.

Dari tempat itu, aku bisa melihat semua santri. Baik santri putra, maupun santri puteri aku bisa melihat hamparan santri putri yang biasanya tidak bisa aku lihat karena batasan hijab. Mereka semua duduk di area putri, aripet.

Dari puluhan santri putri yang duduk, aku bisa melihat jelas sosok Neng Ulfah. Ia memang duduk di posisi paling depan. Senyumnya tergurat padaku. Mukanya merah berseri. Matanya berbinar seolah menyambutku ini.

Jujur, ia duduk dan terlihat manis. Aku merasa grogi. Dia begitu menggemaskan. Terasa memikat untuk terus dipandang. Meski aku pada akhirnya harus menundukkan kepala Sejenak aku melayang dalam lamunan. Terkesima setelah melihat bidadari yang tersenyum padaku. Dalam hati aku berpuisi.

Oh ulfah..
aku lamar engkau dengan bismillah
aku lamar engkau dengan alfiah
tak aku sangka kau adalah jodoh yang terwariskan
jodoh memang tak akan kemana bibirmerahmu membuat hati terasa gemetar lemah
wahai jodoh yang datang trimakasih tuhan

Dalam hati aku bertanya, mengapa pangersa guru memilihku sebagai menantu. Mengapa pula Neng Ulfah memilihku sebagai calon suaminya. Pedahal aku hanyalah jalmi ipis. Orang tidak punya. Wajahku tak seganteng Haji Agus putra Ajengan Ciparay. Aku pun bukan miliyarder layaknya Kang Feri pengusaha emas terkaya di kota Cimahi. Bahkan tidak pula sepintar Gus Muhammad yang katanya pernah menjuarai musabaqoh kitab kuning tingkat nasional.

Aku hanya sebiji debu hina yang tidak memiliki apapun. Aku hanya angin tanpa arah. Aku hanya orang Gunung Halu. Almarhum ayahku adalah seorang petani biasa. Almarhumah ibuku pun tak jauh beda. Aku hanya anak tunggal yang kini sudah tidak memiliki keluarga. Pangersa guru memegang tanganku. Dan tangan yang satunya, melambai memanggil Neng Ulfah untuk ikut ke depan.

Artikel by :al-Inaya.blogspot.co.id