Ada orang tua menyatakan secara lisan, di depan seorang saksi, bahwa dia memberikan rumah yang dia huni kepada anak pertamanya. Sementara tidak ada penyerahan sertifikat, maupun bukti tertulis. Akibatnya, ketika orang tua meninggal, terjadi rebutan antar-anak terhadap rumah itu. anak pertama menuntut, bahwa rumah itu sdh menjadi miliknya, sehingga tidak dibagi waris.. sementara anak yang lain, menuntut rumah itu dibagi waris. Mohon penjelasan masalah ini..
Jawab:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Perpindahan harta dari orang tua ke anaknya, ada beberapa bentuk,
[1] Nafkah
Nafkah adalah pemberian yang menjadi kewajiban kepala rumah tangga kepada semua orang yang berada di bawah tanggung jawabnya, seperti istri dan anak. Nafkah diberikan sesuai kebutuhan. Terlepas dari jenis kelaminnya. Sehingga bisa jadi nafkah untuk anak perempuan lebih besar dibandingkan anak laki-laki.
[2] Hibah
Adalah pemberian orang tua kepada anak yang statusnya tidak wajib. Dan – menurut pendapat yang lebih kuat – hibah diberikan sama rata untuk semua anaknya, baik laki-laki maupun perempuan. Kapan hibah terhitung sah? insyaaAllah akan kita bahas setelah ini.
[3] Warisan
Adalah perpindahan harta dari orang tua kepada anak sebagai ahli warisnya, dengan ketentuan sebagaimana yang telah ditetapkan syariat. Karena itu, untuk warisan, manusia hanya diminta untuk mengikuti aturan yang ada, dan tidak boleh berkreasi di sana.
Selanjutnya, kita bahas mengenai hibah.
Kapan Hibah Terhitung Sah?
Ulama berbeda pendapat dalam hal ini.
Pertama, menurut Malikiyah, hibah sah hanya dengan akad secara lisan, dan tidak disyaratkan harus ada serah terima. Alasan mereka bahwa hibah sama seperti jual beli atau akad perpindahan hak milik lainnya, yang terhitung sah hanya dengan akad.
Para ulama Malikiyah mengatakan,
الهبة جائزة إذا كانت معلومة، قبضت أو لم تقبض
Hibah itu sah, selama objeknya jelas, baik setelah diserah terimakan maupun belum diserah terimakan. (Simak, Bidayah al-Mujtahid, 2/324; Hasyiyah ad-Dasuqi, 4/101).
Kedua, dalam madzhab Hambali, menurut riwayat yang rajih dari Imam Ahmad, bahwa objek hibah ada 2:
[1] Objek yang terukur dengan cara ditimbang atau ditakar, seperti bahan makanan, Hibah untuk objek ini terhitung sah, jika sudah diserah terimakan. Karena itu, jika baru sebatas dilisankan, tidak terjadi perpindahan hak milik, artinya hibah dibatalkan. Dalil mereka adalah ijma’ sahabat dalam masalah ini.
[2] Objek yang tidak diukur dengan takaran atau timbangan, seperti properti. Hibah untuk objek ini dinilai sah hanya dengan akad secara lisan, meskipun belum diserah terimakan.
Ibnu Qudamah mengatakan,
إن المكيل والموزون لا تلزم فيه الصدقة والهبة إلا بالقبض، وهو قول أكثر الفقهاء. أما غير المكيل أو الموزون فتلزم الهبة فيه بمجرد العقد، ويثبت الملك في الموهوب قبل قبضه، لما روي عن علي وابن مسعود رضي الله عنهما قالا: الهبة جائزة إذا كانت معلومة، قبضت أو لم تقبض
Sedekah atau hibah untuk objek yang ditimbang atau ditakar, tidak terhitung sah, kecuali jika diserah-terimakan. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama. Sementara untuk objek yang tidak ditakar atau ditimbang, hibah sah sekalipun hanya dengan akad, dan objek berpindah hak milik, meskipun belum diserah terimakan. Berdasarkan riwayat dari Ali dan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhuma. Mereka mengatakan, ‘Hibah dibolehkan, jika diketahui, baik sudah diserahkan maupun belum diserahkan.’ (simak al-Mughni, 5/591)
Ketiga, sementara menurut Syafiiyah dan Hanafiyah, hibah untuk objek bernilai sah jika diserah-terimakan. Jika hibah belum diserah-terimakan tidak teranggap, sehingga tidak ada perpindahan hak milik.
Diantara dalil yang mendukung pendapat ini,
[1] Riwayat dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu pernah secara lisan memberikan hibah kepada Aisyah. Menjelang wafatnya Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,
يابنية … إني كنت نحلتك جداد عشرين وسقاً من مالي، ولو كنت جددتيه وأحرزتيه لكان لك، وإنما هو اليوم مال الوارث، وإنما هما أخواك وأختاك فاقتسموه على كتاب الله
Wahai putriku…, aku pernah memberimu hartaku berupa kurma matang 20 wasaq, andai dulu kamu menerimanya, tentu itu menjadi milikmu. Namun hari ini, harta itu menjadi harta ahli waris, yaitu kedua saudara laki-laki dan saudara perempuanmu. Karena itu, bagilah sesuai aturan Allah. (HR. Malik dalam al-Muwatha’, 806).
[2] Riwayat dari Umar radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,
ما بال رجال يَنْحَلون أبناءهم نُحلاً، ثم يمسكونها فإن مات ابن أحدهم، قال: «مالي بيدي، لم أعطه أحداً، وإن مات هو قال: هو لابني، قد كنت أعطيته إياه، فمن نحل نحلة فلم يَحُزْها الذي نحلها ـ وأبقاها ـ حتى تكون إن مات لورثته، فهي باطلة
Mengapa ada orang yang memberikan hibah ke anak mereka, namun tidak diserahkan. Ketika anaknya mati, dia mengatakan, “Harta ini masih milikku, aku belum pernah memberikannya kepada siapapun.” Namun ketika orang tua yang mati, dia mengatakan, “Ini milik anakku, aku telah memberikannya kepadanya.”
Kemudian Umar menegaskan, ‘Siapa yang memberi hibah, namun dia belum menerimanya – dia pertahankan – sehingga ketika dia mati hartanya menjadi warisannya, maka hibah ini batal. (HR. Malik dalam al-Muwatha’, 2784).
Dan pendapat ini merupakan pendapat Utsman, Ali dan beberapa sahabat lainnya. (al-Fiqh al-Islami, Wahbah Zuhaili, 5/637).
Pendapat ini juga meng-qiyaskan hibah sebagaimana sedekah atau utang. Keduanya sama-sama akad irfaq (membantu karena iba/cinta), sehingga selama baru diucapkan, dan belum diserahkan maka tidak diperhitungkan..
Dan insyaaAllah pendapat ketiga ini yang lebih kuat.
Saran Bagi Orang Tua
Terkadang pertengkaran antar-anak, pemicunya adalah orang tua. karena perbedaan kecintaan pada anak, sehingga orang tua menyatakan secara lisan menghibahkan hartanya kepada sebagian anaknya. rumah ini nanti jadi milik kamu, tanah ini milik kamu, dst. sementara anak yang lain tidak diberi yang sama. Akibatnya, ketika orang tua meninggal, mereka rebutan harta peninggalan orang tua.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan, agar memberi hibah secara merata kepada semua anak. Jika tidak, biarkan harta peninggalan itu sebagai warisan, yang dibagi sesuai aturan waris.(al-Inayah/Ks)
Demikian, Allahu a’lam.