Ahlus sunnah bersepakat (ijma’) sesuai dengan petunjuk dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah bahwa Allah Ta’ala memiliki sifat kalam (Maha berbicara). Yaitu, Allah Ta’ala berbicara kapan saja yang Allah kehendaki, dengan bahasa yang Allah kehendaki, dengan topik apa saja yang Allah kehendaki, dengan siapa saja yang Allah kehendaki (baik malaikat, rasul-Nya, atau yang lain), serta dengan huruf dan suara yang bisa didengar oleh makhluk-Nya. Akan tetapi, kalam Allah tidak sama dengan (sifat) berbicara yang ada pada makhluk. Sifat kalam Allah adalah sebagaimana sifat-sifat Allah Ta’ala yang lainnya, yaitu sesuai dengan keagungan, kebesaran dan kemuliaan Allah Ta’ala. Dan juga sesuai dengan apa yang layak bagi Allah Ta’ala.
Kalam Allah adalah salah satu sifat Allah, kita beriman dengan sifat tersebut, menetapkan dan meyakininya. Namun, kita tidak memvisualisasikannya (tanpa takyif), dan tidak pula menyamakannya dengan sifat makhluk (tanpa tasybih).
Dalil-Dalil dari Al-Qur’an tentang Penetapan Sifat Kalam
Allah Ta’ala berfirman,
وَكَلَّمَ اللَّهُ مُوسَى تَكْلِيمًا
“Dan Allah telah berbicara kepada Musa secara langsung.” (QS. An-Nisa’ [4] : 163-164)
Allah Ta’ala berfirman,
وَلَمَّا جَاءَ مُوسَى لِمِيقَاتِنَا وَكَلَّمَهُ رَبُّهُ
“Dan ketika Musa datang untuk (munajat dengan kami) pada waktu yang telah kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (secara langsung) kepadanya.” (QS. Al-A’raf [7]: 143)
Adapun “kalam” dari sisi bahasa, tidaklah terjadi kecuali dengan huruf dan suara. Adapun orang yang (maaf) bisu, tidak bisa disifati sebagai “bisa berbicara”, meskipun dia bisa saja berbicara dalam hatinya.
Ketika Allah Ta’ala menetapkan sifat kalam untuk diri-Nya, maka hal ini menunjukkan bahwa kalam tersebut adalah dengan huruf dan suara. Hal ini karena Allah Ta’ala telah menjelaskan bahwa Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab yang jelas.
Allah Ta’ala berfirman,
بِلِسَانٍ عَرَبِيٍّ مُبِينٍ
“Dengan bahasa Arab yang jelas.” (QS. Asy-Syu’ara: 195)
Oleh karena itu, Allah Ta’ala membedakan (mengistimewakan) Nabi Musa ‘alaihis salaam di antara nabi-nabi yang lain, bahwa Nabi Musa langsung diajak berbicara secara langsung oleh Allah Ta’ala, sementara sebagian nabi-nabi yang lain adalah dengan wahyu tanpa adanya pembicaraan langsung. Sehingga Nabi Musa memiliki gelar sebagai Kaliimullah (yang diajak berbicara dengan Allah secara langsung).
Abu Nashr As-Sijzi rahimahullah (wafat tahun 444 H) berkata,
وقالت العرب : الكلام: اسم وفعل وحرف جاء لمعنى فالاسم مثل: زيد، وعمرو، وحامد، والفعل مثل: جاء، وذهب، وقام، وقعد، والحرف الذي يجيء لمعنى مثل: هل، و بل، وما شاكل ذلك. فالإجماع منعقد بين العقلاء على كون الكلام حرفاً وصوتاً
“Orang Arab berkata, “Kalam terdiri dari isim, fi’il dan huruf yang memiliki makna tertentu. Contoh isim adalah Zaid, ‘Amr, dan Hamid. (Contoh) fi’il adalah: datang, pergi, berdiri, dan duduk. (Contoh) huruf yang memiliki makna adalah هل (apakah), بل (bahkan), dan sejenisnya.” Ijma’ (kesepakatan) telah berlaku di antara orang yang berakal bahwa kalam itu dengan huruf dan suara.” (Risaalah As-Sijzi ila Ahli Zabid fi Ar-Radd ‘ala Man Ankara Al-Harf wa Ash-Shawt, hal. 81)
Salah seorang ulama ahlus sunnah, Abul Qasim At-Taimi Al-Ashbahani rahimahullah berkata,
وقد أجمع أهل العربية أن ماعدا الحروف والأصوات ليس بكلام حقيقة
Sehingga, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa Al-Qur’an (kalamullah) terdiri dari huruf-huruf. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ، وَالحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا، لَا أَقُولُ الم حَرْفٌ، وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلَامٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ
“Siapa saja yang membaca satu huruf dari Al–Qur’an, maka baginya satu kebaikan dengan bacaan tersebut, satu kebaikan dilipatgandakan menjadi sepuluh kebaikan semisalnya. Dan aku tidak mengatakan الم itu satu huruf. Akan tetapi Alif satu huruf, Laam satu huruf dan Miim satu huruf.” (HR. Tirmidzi no. 2910, hadits shahih)
Allah Ta’ala berfirman,
وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلَامَ اللَّهِ
“Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah dia supaya dia sempat mendengar firman Allah.” (QS. At-Taubah [9]: 6)
Sebagaimana kita ketahui, orang yang mendengar, tentunya dia mendengar huruf dan suara.
Kemudian dalam banyak ayat, Allah Ta’ala mengabarkan bahwa Allah memanggil hamba-Nya.
Allah Ta’ala berfirman,
وَإِذْ نَادَى رَبُّكَ مُوسَى أَنِ ائْتِ الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu menyeru Musa (dengan firman-Nya), “Datangilah kaum yang zalim itu.” (QS. Asy-Syu’ara [26]: 10)
هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ مُوسَى إِذْ نَادَاهُ رَبُّهُ بِالْوَادِ الْمُقَدَّسِ طُوًى
“Sudah sampaikah kepadamu (wahai Muhammad) (tentang) kisah Musa. Ketika Tuhannya memanggilnya di lembah suci, yaitu lembah Thuwa.” (QS. An-Naazi’at [79]: 15-16)
وَيَوْمَ يُنَادِيهِمْ فَيَقُولُ أَيْنَ شُرَكَائِيَ الَّذِينَ كُنْتُمْ تَزْعُمُونَ
“Dan ingatlah hari pada waktu Allah menyeru mereka, seraya berkata, “Di manakah sekutu-sekutu-Ku yang dahulu kamu katakan?” (QS. Al-Qashash [28]: 62)
Abu Nashr As-Sijzi rahimahullah berkata,
والنداء عند العرب صوت لاغير، ولم يرد عن الله تعالى ولا عن رسوله صلى الله عليه و سلم أنه من غير صوت
“Nida’ (panggilan) menurut orang Arab adalah dengan suara, tidak yang lainnya. Tidak terdapat penjelasan dari Allah Ta’ala dan Rasul-Nya bahwa panggilan itu bukan dengan suara.” (Risaalah As-Sijzi ila Ahli Zabid fi Ar-Radd ‘ala Man Ankara Al-Harf wa Ash-Shawt, hal. 166)
Ibnul Mandzur rahimahullah (salah seorang ulama pakar bahasa Arab) berkata,
النداء : الصوت
“An-nida’ (panggilan) adalah (dengan) suara.” (Lisaanul ‘Arab)
Allah Ta’ala pun mensifati suara-Nya dengan suara yang meninggi dan suara yang berbisik. Allah Ta’ala berfirman,
وَنَادَيْنَاهُ مِنْ جَانِبِ الطُّورِ الْأَيْمَنِ وَقَرَّبْنَاهُ نَجِيًّا
“Dan kami Telah memanggilnya dari sebelah kanan gunung Thur dan kami telah mendekatkannya kepada Kami di waktu dia munajat (kepada Kami).” (QS. Maryam [19]: 52)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,
فالمناداة بصوت مرتفع، والمناجاة بصوت منخفض، وكل ذلك وصف الله به نفسه
“’Memanggil’ adalah dengan suara yang meninggi. Sedangkan ‘munajat’ adalah dengan suara yang lirih. Semua ini telah Allah Ta’ala sifatkan untuk diri-Nya sendiri.” (Syarh Al-‘Aqidah As-Safariyaniyyah, hal. 172-173)
[bersambung] [al-inaya/Mls]