Saturday, July 7, 2018

Jika istri bekerja, apakah suami berhak menikmati penghasilan istri?

Tanya:

Jika istri bekerja, apakah suami berhak menikmati penghasilan istri?. Misal, istri baru mendapat insentif dari perusahaan d luar gaji. Kmd suami minta sebagian uang istri utk beli iPad. Trim’s


Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,

Tanggung jawab terbesar suami yang menjadi hak istri adalah memberikan nafkah.

Terdapat banyak dalil yang menunjukkan tanggung jawab memberi nafkah istri, diantaranya,

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ

“Lelaki adalah pemimpin bagi wanita, disebabkan kelebihan yang Allah berikan kepada sebagian manusia (lelaki) di atas sebagian yang lain (wanita) dan disebabkan mereka memberi nafkan dengan hartanya ….” (Q.S. An-Nisa’:34)

Allah juga berfirman,

وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

“Merupakan kewajiban bapak (orang yang mendapatkan anak) untuk memberikan nafkah kepada istrinya dan memberinya pakaian dengan cara yang wajar ….” (Q.S. Al-Baqarah:233)

Dalam hadis dari Muawiyah bin Haidah radhiyallahu ‘anhu, beliau bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

‘Ya Rasulullah, apa hak istri yang menjadi tanggung jawab kami?’

Jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ أَوْ اكْتَسَبْتَ وَلَا تَضْرِبْ الْوَجْهَ وَلَا تُقَبِّحْ وَلَا تَهْجُرْ إِلَّا فِي الْبَيْتِ

“Engkau memberinya makan apabila engkau makan, memberinya pakaian apabila engkau berpakaian, janganlah engkau memukul wajah, jangan engkau menjelek-jelekkannya (dengan perkataan atau cacian), dan jangan engkau tinggalkan kecuali di dalam rumah.” (HR. Ahmad 20013, Abu Daud no. 2142, Ibnu Majah 1850, dan dihasankan Syuaib al-Arnauth).

Nafkah Suami kepada Istri Bernilai Sedekah

Nafkah yang diberikan suami kepada istrinya, merupakan ibadah terbesar suami terhadap keluarganya. Karena memberikan nafkah keluarga merupakan beban kewajiban syariat untuk para suami.

Dari Abu Mas’ud al-Anshari radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا أَنْفَقَ المُسْلِمُ نَفَقَةً عَلَى أَهْلِهِ، وَهُوَ يَحْتَسِبُهَا، كَانَتْ لَهُ صَدَقَةً

”Apabila seorang muslim memberikan nafkah kepada keluarganya dan dia mengharap pahala darinya maka itu bernilai sedekah.” (HR.Bukhari 5351).

Dalam hadis lain dari Sa’d bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّكَ مَهْمَا أَنْفَقْتَ مِنْ نَفَقَةٍ، فَإِنَّهَا صَدَقَةٌ، حَتَّى اللُّقْمَةُ الَّتِي تَرْفَعُهَا إِلَى فِي امْرَأَتِكَ

“Semua nafkah yang engkau berikan, itu bernilai sedekah. Hingga suapan yang engkau ulurkan ke mulut istrimu.” (HR. Bukhari 2742 dan Muslim 1628).

Apa Cakupan Nafkah?

Dalam Fatawa Islam ditegaskan,

والنفقة تشمل : الطعام والشراب والملبس والمسكن ، وسائر ما تحتاج إليه الزوجة لإقامة مهجتها ، وقوام بدنها

Nafkah mencakup: makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, dan segala sarana yang menjadi kebutuhan istri untuk hidup dengan layak. (Fatawa Islam no. 3054).

Harta Istri

Berdasarkan keterangan di atas, kita menyimpulkan bahwa dari setiap penghasilan yang diperoleh suami, di sana ada jatah nafkah istri yang harus ditunaikan.

Ini berbeda dengan harta istri. Allah menegaskan bahwa harta itu murni menjadi miliknya, dan tidak ada seorangpun yang boleh mengambilnya kecuali dengan kerelaan istri. Dalil kesimpulan ini adalah ayat tentang mahar,

وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا

Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya. (QS. An-Nisa: 4)

Fatawa Syabakah Islamiyah menjelaskan tafsir ayat ini,

والآية الكريمة علقت جواز أخذ مال الزوجة على أن يكون بطيب النفس وهو أبلغ من مجرد الإذن، فإن المرأة قد تتلفظ بالهبة والهدية ونحو ذلك بسبب ضغط الزوج عليها مع عدم رضاها بإعطائه، وعلم من هذا أن المعتبر في تحليل مال الزوجة إنما هو أن يكون بطيب النفس

Ayat di atas menjelaskan bahwa suami boleh mengambil harta istri jika disertai kerelaan hati. Dan kerelaan hati itu lebih dari sebatas izin. Karena terkadang ada wanita yang dia menghibahkan atau menghadiahkan hartanya atau semacamnya, disebabkan tekanan suami kepadanya. Sehingga diberikan tanpa kerelaan. Disimpulkan dari sini, bahwa yang menjadi acuan tentang halalnya harta istri adalah adanya kerelaan hati. (Fatawa Syabakah Islamiyah, no. 32280)

Jika harta mahar, yang itu asalnya dari suami diberikan kepada istrinya, tidak boleh dinikmati suami kecuali atas kerelaan hati sang istri, maka harta lainnya yang murni dimiliki istri, seperti penghasilan istri atau warisan milik istri dari orang tuanya, tentu tidak boleh dinikmati oleh suaminya kecuali atas kerelaan istri juga.

Dalam Fatwa Islam ditegaskan,

وأما بخصوص راتب الزوجة العاملة : فإنه من حقها ، وليس للزوج أن يأخذ منه شيئاً إلا بطِيب نفسٍ منها

”Khusus masalah gaji istri yang bekerja, semuanya menjadi haknya. Suami tidak boleh mengambil harta itu sedikitpun, kecuali dengan kerelaan hati istrinya.” (Fatwa Islam, no. 126316) .

Allahu a’lam(al-inaya/Ksy)