Wednesday, September 26, 2018

Cara Memiliki Keahlian Fikih

Bagaimana cara untuk bisa memiliki keahlian fiqh?

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Allah ta’ala menurunkan al-Quran berbahasa arab. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan hadis dengan bahasa arab. Para sahabat menjelaskan tafsir al-Quran dan hadis juga menggunakan bahasa arab. Para ulama generasi setelahnya, mereka menulis berbagai karya untuk semua disiplin ilmu, juga berbahasa arab. Artinya, dua sumber syariat dalam islam, keduanya berbahasa arab, dan penjelasannya pun berbahasa arab. Bahasa arab menjadi bahasa komunikasi semua disiplin ilmu dalam islam.


Dan masih ada ribuan bahkan mungkin jutaan literatur islam di alam raya ini yang belum diterjemakan dari bahasa aslinya yaitu bahasa arab. Dan rasanya tidak mungkin itu diterjemahkan, saking banyaknya. Bahkan sebagian besar, tidak boleh diterjemahkan, karena bukan konsumsi mereka yang tidak paham bahasa arab.

Sungguh benar apa yang dinyatakan Imam as-Syafi’i, siapa yang mengusai bahasa arab dengan benar, dia akan dimudahkan untuk meraup ilmu-ilmu syariat lainnya. Beliau mengatakan,

من تبَحَرَّ فى النحو اهتدى إلى كل العلوم

“Siapa yang menguasai nahwu, dia dimudahkan untuk mendapatkan semua ilmu.”

Beliau juga mengatakan,

لا أُسأَلُ عن مسألةٍ من مسائل الفقهِ إلا أجَبْتُ عنها من قواعدِ النحو

“Setiap kali saya ditanya tentang suatu masalah fiqih, maka pasti saya akan jawab dengan melibatkan kaidah nahwu.”

Bagaimana agar memahami fiqh?

Fiqh yang kita inginkan adalah pemahaman yang benar terhadap dalil, sehingga bisa diamalkan. Dan tidak semua orang yang hafal dalil, dia paham dalil. Tidak semua orang yang menghafal al-Quran atau ribuan hadis, dia menjadi seorang yang faqih terhadap yang dia hafal. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengingatkan,

رُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ لَيْسَ بِفَقِيهٍ، وَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ

Betapa banyak orang yang membawa dalil, dia tidak paham dalil. Dan betapa banyak orang yang membawa dalil, dia menyampaikannya kepada orang yang lebih paham terhadap dalil. (HR. Ahmad dalam al-Musnad, 21590 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).

Si A lebih banyak hafalan al-Quran dan hadisnya dibandingkan si B. Bisa jadi ketika si A menyampaikan hadis kepada si B, si B lebih memahami kandungannya dibandingkan si A.

Diantara contoh kejadian ini, seperti yang diriwayatkan Ibnu Abdil Bar, bahwa Abu Yusuf – murid senior Abu Hanifah – pernah ditanya oleh Imam al-A’masy (ulama yang memiliki banyak hafalan hadis). Kemudian Abu Yusuf memberikan jawaban untuk pertanyaan itu.

Imam al-A’masy penasaran, ‘Dari mana kamu bisa mengatakan demikian?’ tanya al-A’masy

‘Dari hadis yang anda sampaikan kepada saya’ jawab Abu Yusuf.

Mendengar itu, al-A’masy berkomentar,

“Wahai Abu Yusuf, sungguh aku menghafal hadis ini sebelum kedua orang tuamu menikah. dan aku belum pernah mengetahui maknanya kecuali saat ini.” (Jami’ Bayan al-Ilmi, 2/31).

Kemampuan Fiqh datang dari 2 sebab

[1] Hibah dari Allah kepada sebagian hamba-Nya

Diantara orang yang mendapatkan hibah semacam ini adalah Imam as-Syafi’i. Ketika beliau datang ke majlisnya Imam Malik dan mulai belajar kepadanya, Imam Malik berpesan kepada Syafi’i,

إني أرى الله تعالى قد ألقى على قلبك نورا ، فلا تطفئه بظلمة المعصية

Aku melihat, Allah telah menyematkan cahaya di hatimu, karena itu, janganlah kau padamkan dengan kegelapan maksiat. (al-Jawab al-Kafi, hlm. 34)

Dan ini seperti yang disebut oleh as-Shan’ani sebagai hibah dari Allah. Beliau mengatakan,

الِاجْتِهَاد موهبة من الله يَهبهُ لمن يَشَاء من الْعباد فَمَا كل من أحرز الْفُنُون أجْرى من قواعدها الْعُيُون وَلَا كل من عرف الْقَوَاعِد استحضرها عِنْد وُرُود الْحَادِثَة الَّتِي يفْتَقر إِلَى تطبيقها على الْأَدِلَّة والشواهد

Kemampuan berijtihad adalah hibah dari Allah. Allah memberikannya kepada siapa saja di antara hamba-Nya yang Dia kehendaki. Tidak semua orang yang hafal berbagai cabang ilmu, dia bisa menerapkan kaidanya pada kasus tertentu. Dan tidak semua orang yang mengetahui kaidah, bisa dia gunakan ketika ada kejadian yang membutuhkan kaidah itu pada penerapan dalil. (Irsyad an-Naqad ila Taisir al-Ijtihad, hlm. 130).

Sehingga kunci untuk bisa mendapatkan hibah ini adalah merasa butuh kepada Dzat yang memilikinya dan selalu berdoa agar kita dimudahkan untuk mendapatkan manfaatnya.

[2] Dengan belajar dan berlatih

Yaitu dengan bimbingan seorang yang berilmu, dan banyak membaca literatur mereka. dengan ini seorang pelajar ilmu agama akan terbiasa melihat cara ulama dalam memahami dalil, sehingga dia bisa meniru metodenya. Demikian, Allahu a’lam.(Csy)