Thursday, December 8, 2016

Bolehkah kencing berdiri dalam Islam

 Assalamu alaikum Wr. Wb

Ada salah satu teman yang dulu pernah mondok atau nyantri di Pondok Pesantren Bangel (Pasuruan)mengatakan, bahwa hadits Bukhori itu banyak yang palsu karena diriwayakan oleh sahabat dai mengunggulkan Al-Kafi yang berisi hadits-hadits sahihkarena diriwayatkan oleh imam Ma’sum.(12 Imam Syi’ah yang tidak pernah salah dan berdosa seperti para Rasul). Salah satu hadits palsu (menurut tuduhan dia) yang menghina Nabi Muhammad SAW itu adalah hadits tentang Nabi kencing berdiri. Bagaimana kita orang sunni ini yang dibuat ragu-ragu oleh pemeluk Syi’ah ini dapat menanggapinya.
Waslam.
Seorang perowi hadits itu tak ubahnya seperti para reporter/peliput berita yang sedang mendiskripsikan secara objektif dan factual sebuah peristiwa tanpa ditambah-tambah, alias apa adanya. Demikian juga yang membawakan hadits ini, menurut para ulama ahli hadits, periwayat Nash ini adalah Tsiqah, dan sanadnya jugak tidak bertetangan denga teks-teks lain. Syarat dan criteria penerimaan hadits para ulama Muhadditsin sangat ketat, apalagi syarat dan criteria Imam Bukhori. Selain kejujuran dan integritas moral (Tsiqah), Imam Bukhori menolak hadits perawi yang tidak bertemu dengan pembawa teks di atasnya (alias hanya mendengar atau “ katanya” saja.)
Adapun peristiwa itu (Nabi kencing ambil berdiri) secara tekstual tidak ada hubungannya dengan akhlak(adab Nabi) karena dilakukan bukan didepan umum,dan itu terjadi dalam keadaan darurat hingga setelah diketahui, akhirnya menjadi hokum (dalam syari’at, hal tersebut dikatakan sebagai hikmatut Tasyri’), bahwa dalam keadaan darurat masalah itu dibolehkan.

Mendiskusikan masalah syari’ah memang harus didasari dengan ilmu dan mendahulukan sikap husnuzzan. Akan hal pemeluk Syi’ah menolak hadits ini memang dari dulu. Sejak awal kaum Syi’ah memang menolak  Bukhori dan Muslim (apalagi kitab-kitab hadits lainnya). Hal itu lantaran driwayatkan oleh meyoritas para sahabat Nabi. Bukan karena satu hadits itu. Kalau toh orang Syi’ah mau menerima hadits, paling-paling untuk pembenaran saja, atau yang ada hubungannya dengan fadha’il (keutamaan) Sayyidina ‘Ali dan atau Ahlul Bait.