Thursday, December 8, 2016

Tradisi keagamaan

Assalamu alaikum Wr. Wb.
Akhir-akhir ini saya sering menerima bulletin/ selebaran yang isinya mencuatkan kembali masalah khilafiyah di tengah umat ahlus sunnah wal jama’ah di Indonesia ini.karena kata-katanya yang profokatif selebaran y ang seringkali tampa nama dan alamat penerbit yang jelas itu berbuat adu domba. Misalnya kalimat-kalimat yang mengharamkan kalimat zikri dan tahlilan, ziarah kubur, maulid Nabi dan sebagainya yang sudah menjadi tradisi muslimin di sini sejak zaman Walisongo (perintis dakwah) itu. Bagaimana kami menyikapi hal ini.?

Wassalam Wr. Wb.
Masalah khilafiyah itu sebenarnya permasalahan furu’iyah (cabang) yang merupakan alternative  (pilihan) bagi umat, mana yang mereka sukai dari berbagai ragam pendapat.boleh memilih mana yang cocok dengan praktek dan tradisi keagamaannya. Orang NU di sini dikenal punya tradisi ikri dengan upacara tahlilan ,orang muhammadiyyah juga berzikir dengan cara yang tidak sama tentu dengan tahlilan a la NU,tapi keduanya sama-sam berdo’a dan berzikir.disinilah terletak keluasan tafsir atas makna hadist yang berbunyi “ikhtilaf ulama rahma”(perbedaan pendapat diantara para ulama itu merupakan karunia kasih ALLAH),yang kita saksikan adalah karinia keanekaragaman dalam mengekspresikan zikir kepada ALLAH.
Adapun tradisi upacara-upacara keagamaan local yang digantikan dan diisi dengan zikir  dan segala amalan lain  yang sesuai syariat tentu saja tidak apa-apa.trasi local itu termasuk adat,yng menurut ilmu al-ushul,adat(yang baik itu )merupakan hukum “AL’adatu muhakkamatun”
Islam itu dilahirkan disuatu kondisi masyarakat yang tidak vakum budaya.sudah ada budayah jahiliyah ,  yang baik dipertahankan oleh syari’at Islam yang dibawa  Nabi SAW,sedangkan yang jelek dilarang. Misalnya tradisi positif hormat tamu yang diterima oleh Islam dengan dikaitkan keimanan kepada Allah dan hari akhir. (H.R. Bukhori –Muslim). Sebaliknya minuman keras, judi, mut’ah(samen iven)dilarang oleh Rasulullah karena bertentangan dengan kemaslahatan manusia.
Jadi, biasakanlah kita toleransi dalam perbedaan furu’ tana harus mencap itu bi’ah dan sesat, apalagi sampai kafir-mengkafirkan. Sebab , masing-masing itu punya hujjah(alas an) sendiri-sendiri. Yang tidak baik adalah jangan membawa syari’ah Islam ini ke lorong sempit dengan alas an tidak pernah ada di zaman Nabi dan sebagainya itu kemudian menolaknya dengan menyatakan sesat dan kafira. Ada baiknya kita mengenang ucapan Iman Syafii’I menegenai perbedaan : “ pendapatku benar tapi menga ndung kemungkinan salah . sedangkan pendapat orang lain itu salah, tapi mengandung kemungkinan itu benar”.

Islam ini dinamis dan salih(cocok) likulli zaman (waktu) wa makan (tempat), karena itu merupakan rahmat  yang bergulir searas dengan kemaslahatan umat. Sudah tidak relevan lagi menghidupkan masalah-masalah khilafiyah dengan cap bid’ah.untuk tahlil, ziarah kubur dan mauled – karena semua amalan rohani(doa dan zikir)ini ada argumentasi dan dalilnya.(Baca: Qowa’id al-Ahkam fi masalih al-Anam, juz 2, hlm. 172-173)cobalah kita membiasakan diri untuk bersangka baik dengan sesame kiat.!