Assalamu alikum Wr. Wb.
Ada sebuah hadist popular menyatakan, umat Islam akan
terpecah menjadi 73 Golongan . Menurut teks hadist ini semua akan masuk neraka
kecuali satu golongan atau kelompok, yakni yang mengikuti Nabi dan para sahabat
Nabi. Sepengatahuan saya hadist ini termaktub diberbagai kitab kuning dan
banyak dikutip oleh penceramah agama, Namun , ada pendapat dari luar mainstream
( arus utama ) Ahlussunnah Waljama’ah yang mengatakan, hadist itu lemah(dha’if)
.alasannya dengan dahist itu Ahlussunnah mengkalim hanya pahamnyalah yang
benar. Mohon penjelasan.
Alaikumussalam Wr. Wb.
Hadist Iftiraq ( perpecahan ) tersebut termuat dalam Sunan At-tirmizdi ( 2565) dan al-Farq bain al-Firq (7-9)yang teks lengkapnya sebagai berikut dari Abdullah bin Amr ia berkata Rasululah SAW berkata seungguhnya bani Isra’il telah terpecah menjadi 27 golongan dan umatku menjadi 73 golongan semua masuk neraka kecuali satu golongan sahabat bertanya siapakah itu wahai Rasulullah.? Nabi SAW menjawab golongan itu ialah pengikut ( yang berperang pada ) segla perbuatan yang telah aku dan para sahabatku amalkan Imam Jalaluddin Assyuyuthi mengarang kitab Al-Jami Assaghir mengatagorikan hadist tersebut sebag ai mutawatir (diriwatkan banyak jalur) karena hadist shahih ini dapat dijadikan hujjah atau dalil (Faidhl Qodir Juz II, hlm 21 )Teks hadist ini sejalan dengan Al-Quran ( QS.4:59)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ
وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ
فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ
الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا (٥٩)
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Di dalam ayat di atas memerintahka orang beriman agar taat
kepada Allah, Rasul dan ulil amri
(mereka yang mendapat mandat umat ).Adapu Ulil Amri yang paling dekat
masanya dengan Nabi adalah para sahabat. Perselisihan sebagian ulamak dalam
menafsirkan hadist ini bukan pada sanad atau matarantai perawinya, tapi
pada matan atau teksnya. Terutama pada kalimat pecah dalam 73 golongan
yang menimbulkan beberapa pertanyaan : apakah jumlah itu sudah ada sejak zaman
Nabi, persih secara kuantitatif sesuai angkanya.? Ataukah hal itu akan timbul
sesudah zaman Nabi sampai sekarang, atau sampai akhir masa kelak di hari
kiamat.? Jika ditakwilkan secara kontekstual, hadist tersebut majazi (
Metaforis) tidak berbicara mengenai jumlah klompok (perpecahan), melinkan
secara kualitatif menjelaskan bentuk perpecahan yang menyimpang dari tuntunan
aqidah yang selama dibangun oleh Nabi, kata 7
(Sab’ah) dan tujuh puluh (sab’in ) sama sekali tidak mengacu pada
angka yang tersurat, melinkan pa makna yang tersirat. Dalam al-Quran ada ayat
tentang aknga 70 ini, sekalipun kamu memohon ampunan tujuh puluh kali bagi
mereka. (QS 9: 80)
اسْتَغْفِرْ لَهُمْ أَوْ لا تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ
إِنْ تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ سَبْعِينَ مَرَّةً فَلَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَهُمْ ذَلِكَ
بِأَنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَاللَّهُ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
(٨٠)
80. kamu memohonkan ampun bagi mereka atau tidak
kamu mohonkan ampun bagi mereka (adalah sama saja). Kendatipun kamu memohonkan
ampun bagi mereka tujuh puluh kali, Namun Allah sekali-kali tidak akan memberi
ampunan kepada mereka. yang demikian itu adalah karena mereka kafir kepada
Allah dan Rasul-Nya. dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik.
Kalimat
ini tidak berbicara mengenai angka 70 yang harus dimohonkan, tapi pada pemhaman
yang bermakna kesungguhan permohonan. Persis sama seperti dalam tradisi bahasa
kita (Indonesia) ketika akan menyatakan celaka yang sungguh-sungguh celaka,
dengan pengungkapan kalimat metaforis celaka 12. Bukan berarti 12 kali celaka,
tapi bermakna benar-benar celaka. Karena itu paham Ahlussunah waljama’ah yang
berpegang paada tesk ini meyakini (bukan mengklaim), bahwa hadist-hadis ini
sahih dan mutawatir karena sunnah Nadi Ijma’ shabat Nabi( Ma ana’ alaihi wa
ashabi )termasuk dalam satu kesatuan sumber hokum yang jadi rujukan dalam
aktualisasi aqidah.
Artikel By: al-Inaya.Blogspot.com