Mohon tanggapan untuk dai yang menyebut Musa Preman para nabi dan menyebut Aisyah wanita solihah, cewek gaul, seorang traveler. Karena ucapannya bisa menyakitkan hati kaum muslimin…
Jawab:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan kepada kita, agar selalu waspada dalam menjaga lisan. Anggota badan yang satu ini, bisa jauh lebih berbahaya dari pada tangan dan kaki. Karena lepas kontrol lisan, bisa menyebabkan pelakunya terjerumus ke neraka jahanam.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan,
وَإِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللَّهِ لاَ يُلْقِى لَهَا بَالاً يَهْوِى بِهَا فِى جَهَنَّم
“Sesungguhnya ada seorang hamba mengucapkan satu kalimat yang mendatangkan murka Allah, diucapkan tanpa kontrol akan tetapi menjerumuskan dia ke neraka.” (HR. Bukhari 6478)
Al-Hafidz Ibn Hajar mengatakan dalam Fathul Bari ketika menjelaskan hadis ini, yang dimaksud diucapkan tanpa kontrol adalah tidak direnungkan bahayanya, tidak dipikirkan akibatnya, dan tidak diperkirakan dampak yang ditimbulkan. Hal ini semisal dengan firman Allah ketika menyebutkan tentang tuduhan terhadap Aisyah:
وَتَحْسَبُونَهُ هَيِّنًا وَهُوَ عِنْد اللَّه عَظِيم
“Mereka sangka itu perkara ringan, padahal itu perkara besar bagi Allah.” (QS. An-Nur: 15)
Terutama ketika orang sedang berkelakar, sering sekali dia tidak kontrol, sehingga keluar kalimat celaan atau kata yang tidak selayaknya diucapkan. Karena itulah, al-Quran menyebutkan, diantara sebab orang menghina Allah dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, adalah ketika dia sedang bergurau.
Allah berfirman,
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ . لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ
“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan manjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja”. Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman… (QS. at-Taubah: 65 – 66)
Ayat ini turun berkaitan dengan sikap seorang munafiq yang menyebut Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat sebagai orang yang paling rakus ketika makan, jika bicar gak bisa dipegang, dan paling penakut ketika ketemu musuh. Lalu perkataan orang munafik ini dilaporkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akhirnya orang ini berusaha untuk untuk meminta maaf kepada beliau, dan beralasan bahwa dia hanya bergurau, tidak ada maksud serius untuk menghina Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat.
Namun tidak dipedulikan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di saat itulah, Allah menurunkan firman-Nya di atas. (Tafsir Ibnu Katsir, 4/171)
Selanjutnya anda bisa menilai, ketika ada yang menyebut Nabi Musa ‘alaihis salam dengan preman, dengan maksud bercanda. Sekalipun tidak ada niat melecehkan, setidaknya dia melakukan kesalahan besar, tindakan kurang adab terhadap status kenabian.
Hindari Kata Ambigu Berkonotasi Negatif
Allah melarang para sahabat untuk menggunakan kalimat yang disalah gunakan oleh Yahudi ketika memanggil Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَقُولُوا رَاعِنَا وَقُولُوا انْظُرْنَا وَاسْمَعُوا وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): “Raa’ina”, tetapi Katakanlah: “Unzhurna”, dan “dengarlah”. dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih. (QS. Al-Baqarah: 104)
Kata raa’ina [رَاعِنَا] memiliki dua kemungkinan makna,
[1] Turunan dari kata raa’a – yuraa’i yang artinya perhatikan. Sehingga kata raa’ina bermakna ‘Perhatikanlah kondisi dan keadaan kami’.
[2] Turunan dari kata ru’unah [رعونة], yang artinya orang tolol. Sehingga kata raa’ina bisa bermakna ’orang tolol di kalangan kami.’
Para sahabat ketika bergaul bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mereka memohon agar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperhatikan kemampuan mereka dalam menangkap pelajaran dan hadis dari beliau. Merekapun mengatakan ’ya Rasulullah, raa’ina’, yang artinya “Ya Rasulullah, perhatikanlah kami.”
Namun ternyata kebiasaan ini dimanfaatkan oleh orang yahudi untuk menghina Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka turut mengatakan, ”Ya Muhammad, raa’ina.” maksud mereka, ‘Hai Muhammad, orang tolol di kampung kami.’
Kemudian Allah melarang para sahabat untuk menggunakan kalimat ini, sebagai gantinya Allah perintahkan mereka untuk menggunakan kalimat undzurnaa, yang maknanya sama.
Pelajaran yang bisa kita ambil, bahwa ketika ada sebuah kalimat yang ambigu, bisa bermakna baik dan bisa sebaliknya, bermakna buruk, kita dilarang untuk menggunakannya, dan diarahkan untuk menggunakan kata lain yang sepadan sebagai gantinya. Apalagi jika kata itu hanya mengandung makna negatif.
Preman itu Konotasinya Negatif
Ada yang beralasan, maksud si Da’i, dia ingin menjelaskan kepada audiens dengan bahasa yang bisa mereka pahami. Karena semua nabi diutus oleh Allah dengan lisan kaumnya. Allah berfirman,
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلَّا بِلِسَانِ قَوْمِهِ لِيُبَيِّنَ لَهُمْ
“Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka..” (QS. Ibrahim: 4)
Sanggahan:
Justru itu, kami orang Indonesia, paham bahasa Indonesia.. lisan kami memahami, kata preman memiliki konotasi yang tidak baik. Dan jika maksudnya ingin menyebut ‘Orang sangat kuat fisiknya’, lisan kami tidak pernah memahami bahwa kata ‘preman’ bisa dimaknai ‘Orang sangat kuat fisiknya’.
Andai ada bahasa kami yang menyebutkan makna preman untuk konotasi yang tidak menyimpang, tentu masyarakat tidak akan mempermasalahkannya. Mengingat lisan kami memahami, kata preman memiliki konotasi yang tidak baik, maka kami mempermasalahkan.
Coba kita tengok KBBI arti dari kata preman,
preman1/pre·man/ /préman/ n 1 partikelir; swasta; 2 bukan tentara; sipil (tentang orang, pakaian, dan sebagainya); 3 kepunyaan sendiri (tentang kendaraan dan sebagainya); orang — , orang sipil, bukan militer; mobil — , mobil pribadi (bukan mobil dinas); pakaian — , bukan pakaian seragam militer
preman2/pre·man/ /préman/ n cak sebutan kepada orang jahat (penodong, perampok, pemeras, dan sebagainya)
Jika yang dimaksud sang dai adalah makna pertama, yaitu orang sipil atau bukan tentara, nampaknya sangat tidak nyambung dengan apa yang dibicarakan sang dai. Sehingga tinggal makna yang kedua.
A’isyah – Cewe Gaul, Seorang Traveler
Subhanallah…
Adakah wanita solihah cewe gaul – traveler?
Kalau anda memiliki seorang bayi gaul, mungkin anda akan merasa senang. Berbeda ketika seorang mukmin yang baik memiliki cewe gaul, apalagi traveler..
Saya kira, tidak ada dai yang sudi jika istrinya disebut Cewe Gaul…
Beliau istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam… yang dijamin kehormatannya oleh Allah, dengan Allah turunkan surat an-Nur. Sudah seharusnya kita menghormati beliau sebagai istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kami menyadari, ini ujian bagi sang dai dan bagi kaum muslimin. Kami berharap semoga ini tidak semakin parah.. semoga Allah selalu mebimbing kita ke jalan yang benar…al-inaya/Ks)
Allahu a’lam.