Tuesday, May 1, 2018

Al-Qur’an Kitab Suci Orang Muslim sebagai pedoman utama

Suatu ketika Imam Abu Hanifah Rahimahullah bersama beberapa orang berangkat menuju masjid. Di halaman masjid, beliau melihat anak kecil wudhu’, sementara air matanya mengalir deras. Isak tangisnya mengiris hati sang Imam.
Abu Hanifah mendekati bocah itu dan menanyakan apa yang menyebangkannya mengurai air mata. Namun bocah itu hanya menjawab, “Biarkan aku begini wahai imam!”.

Abu Hanifah terus bertanya, hingga akhirnya bocah itu menjawab, “Ya imam, saya teringat dengan firman Allah Shubhanallahu wa Ta’ala yang berbunyi;

فَاتَّقُوا النَّارَ الَّتِي وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِينَ
“Peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir.” (Qs. Al-Baqarah: 24)
Abu Hanifah Rahimahullah berkata, “Kamu masih kecil anakku. Ayat ini belum berlaku untukmu.”

“Wahai imam,” ucap anak kecil ini, “Bukankah saat kita menyalakan api, kita membakar kayu bakar yang kecil sebelum yang besar?”

Imam tertegun, kagum atas kecerdasan anak ini. Ia pun bekata kepada orang-orang yang bersamanya, “Sungguh, anak ini lebih takut kepada Allah SWT dari pada kita.”

Kisah kehidupan para salaf selalu menarik dan memberi inspirasi kehidupan. Lihatlah kisah di atas, ada 1001 pelajaran bisa kita petik dari kisah ini. Setidaknya ada dua pelajaran berharga yang dari kisah ini.
Pelajaran Pertama: Imam Abu Hanifah mengajarkan ketawadhuan seorang ulama. Bagaimana tidak demikian? Beliau adalah seorang ulama besar, sejak zamannya hingga sekarang. Beliau tidak ragu belajar,diskusi, dan mengakui kelebihan seseorang yang secara umur dan ilmu jauh di bawah beliau.

Di sinilah letak keberkahan ilmu. Syarat mendapatkan ilmu yang bermanfaat adalah hati yang tawadhu, dan tidak angkuh. Syaikh DR. Bakr Abu Zaid berkata, “Sesungguhnya ilmu itu laksana air yang mengalir dari tempat tinggi menuju tempat yang rendah. Demikian juga ilmu, ia akan lari dari hati seseorang yang merasa tinggi dan lebih (angkuh).”

Rasulullah SAW mengabarkan, bahwa ketawadhuan adalah sebab terangkatnya derajat seseorang. Dalam riwayat Abu Hurairah, beliau SAW bersabda;

“Harta tidak akan berkurang karena sedekah, Allah akan menambahkan kemulian bagi pemaaf, dan Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang tawadhu’ karena Allah Shubhanallahu wa Ta’ala.” (HR. Muslim)
Menghayati Ayat-Ayat Al-Qur’an
Pelajaran terpenting dari kisah ini adalah; para salaf merupakan manusia-manusia yang tidak sekadar membaca Al-Qur’an dengan baik. Tetapi juga mampu menghayati dan mentadaburi ayat-ayat yang mereka baca atau yang mereka dengar.

Bukan hanya orang-orang dewasa yang mampu menghayati nilai-nilai dalam Al-Qur’an, bocah pada zaman salaf pun sudah tertanam kemauan dan kecintaan mentadabburi ayat-ayat Al-Qur’an.

Bisa disaksikan pada bocah di atas yang membuat kagum imam Abu Hanifah. Ketajaman pikiran dan kemampuannya menghayati Al-Qur’an memang sangat menakjubkan. Tentu, ia tidak terbentuk dengan sendirinya, pasti ada tarbiyah unggul dari guru dan orang tua yang istimewa. Sehingga melahirkan anak yang mengagumkan ini.

Sementara kalangan remaja dan orang-orang tua, tadabbur ayat sudah menjadi ciri khas mereka. Setiap kali mereka melihat peristiwa atau keajaiban di alam semesta ini, selalu dikaitkan dengan ayat-ayat Allah.

Memang demikianlah seharusnya. Sebab ayat-ayat Al-Qur’an diturunkan untuk ditadabburi, tidak sekedar dibaca tanpa dihayati. Allah Shubhanallahu wa Ta’alaberfirman:

“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.” (QS. Shod: 29)

Mukjizat Al-Qur’an tidak mungkin didapatkan tanpa mentadabburinya, khalifah Ali bin Abi Thalib RA berkata, “Ketauhilah, tidak ada kebaikan dalam tiga hal: ibadah tanpa ilmu, ilmu yang tidak diajarkan, dan membaca alQur’an tanpa tadabbur.” (Mausu’atul Akhlak, 1/112)

Pakar tafsir sahabat, Abdullah bin Abbas RA menuturkan, “Sungguh, saya membaca ‘idza zulzilatil dan alqori’ah, kemudian saya mentadabburi kedua surat ini, lebih saya senangi daripada saya membaca al-Baqarah, dan Ali Imran, tanpa penghayatan.” (Ibid,1/112)

Dikisahkan, jika Abdullah bin Umar RA membaca firman Allah Shubhanallahu wa Ta’ala;

ألَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلاَ يَكُوْنُوْ كَالَّذِيْنَ أُوْتُواْلكِتَبَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ اْلَامَدُ فَقَسَتْ قُلُوْبُهُمْ وَكَثِيْرمِنْهُمْ فَسِقُوْن
. Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.,”(Qs. Al-Hadid: 16)
Badan beliau bergemetaran, kemudian menangis terisak-isak.Sebab kandungan ayat ini begitu menyentuh hati, menorehkan rasa rindu dalam relung kalbu untuk berdzikir kepada Allah.
Umar bin Abdul Aziz mempunyai kebiasaan yang layak ditiru. Yaitu, mengisi atau memulai majelis dengan bacaan Al-Qur’an. Dalam sebuah majelis, tabiin terkemuka dan khalifah yang agung ini, membaca beberapa ayat Al-Qur’an. Saat beliau sampai pada ayat;

إِذَا رَأَتْهُمْ مِنْ مَكَانٍ بَعِيدٍ سَمِعُوا لَهَا تَغَيُّظًا وَزَفِيرًا وَإِذَا أُلْقُوا مِنْهَا مَكَانًا ضَيِّقًا مُقَرَّنِينَ دَعَوْا هُنَالِكَ ثُبُورًا
“Apabila neraka itu melihat mereka dari tempat yang jauh, mereka mendengar kegeramannya dan suara nyalanya. Dan apabila mereka dilemparkan ke tempat yang sempit di neraka itu dengan dibelenggu, mereka di sana mengharapkan kebinasaan”(Qs. Al-Furqon:12-13)
Ia terhenti sejenak. Dan tiba-tiba air matanya mengalir deras di pipinya. Ia pun tak kuasa menahan tangisan. Lalu beliau meninggalkan majelis tersebut, masuk ke dalam rumahnya. Hadirin yang menyaksikan peristiwa ini terharu, mereka pun satu-persatu pamit diri dari majelis, seraya kepalanya menunduk.

Tadabbur, Kunci Kekuatan Iman

Sudah semestinya seorang aktifis menjadikan tadabbur ayat-ayat Al-Qur’an sebagai rutinitas hariannya. Sehari, minimal satu ayat yang dijadikan bahan renungan maupun tadabbur. Sebab dengan tadabburlah, ayat-ayat Al-Qur’an menjadi terhayati, menjadi inspirasi kehidupan, dan menjadi ruh bagi pikiran, gerak, dan keyakinan seorang muslim.

Jika seseorang telah terbiasa mentadabburi ayat-ayat Allah SWT, maka ia akan merasakan kenikmatan dan kebaikan yang tiada bertepi. Imam Ibnu Qoyyim al-Jauziyah menjelaskan, “Tidak ada perkara yang lebih bermanfaat bagi seorang hamba dan menyelamatkannya di dunia maupun di akherat, melebihi tadabbur Al-Qur’an, meneliti, menghayati dan memikirkan makna ayat-ayatnya. Sebab, ia akan menunjukkan semua perkara, yang baik atau yang buruk secara detail; baik jalan, pemicu, tujuan, dan buah dari kebaikan serta kejahatan tersebut, juga tempat kembali bagi pelaku kebaikan dan keburukan.”
[baca doa tahajjut disini
Ibnu Qayyim al-Jauziyah melanjutkan, “Lewat mentadabburi Al-Qur’an, seseorang akan memegang kunci-kunci ilmu, iman, dan kebahagian yang hakiki. Imannya tertancap kuat dalam hatinya. Dia seakan-akan hadir di tengah bangsa lain, dia akan menyaksikan keajaiban-keajaiban yang Allah takdirkan bagi makhluk-Nya.”(Madarijus Salikin, 1/450)* (Akrom Syahid)

Dikutib : Majalah An najah edisi 124 rubrik oase imani