Dasar hukum dari wasiat adalah firman Allah swt :
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِن تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالأقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ
Artinya :
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf, (Ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah : 180).
Diperbolehkan wasiat dengan sepertiga harta, dan tidak diperbolehkan wasiat yang melebihi sepertiga. Yang utama adalah wasiat yang kurang dari sepertiga, sebab telah terjadi ijma' atas hal ini.
Dan dari Sa’d Bin Abi Waqqash r.a. beliau berkata: Saya berkata:,” Ya Rasulullah saya orang yang mempunyai harta yang banyak (kaya) dan tidak ada orang yang mewarisi saya kecuali seorang anak perempuan. Apakah saya sedekahkan dua pertiga hartaku? Nabi menjawab: jangan! lalu saya bertanya lagi: Apakah saya sedekahkan separuhnya?, Beliau menjawab, jangan! Saya bertanya lagi: Apakah saya sedekahkan sepertiganya? Beliau bersabda: "Ya, sepertiga, Sepertiga itu banyak. Sesungguhnya kamu tinggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan mereka melarat yang akan meminta-minta kepada orang. (H.R.Bukhari, Muslim).
Jumhur ulama berpendapat bahwa sepertiga itu dihitung dari semua harta yang ditinggalkan oleh pemberi wasiat.
Malik berpendapat bahwa sepertiga itu dihitung dari harta yang diketahui oleh pemberi wasiat, bukan yang tidak diketahuinya atau yang berkembang tetapi dia tidak tahu.
Sepertiga itu dihitung saat dia mewasiatkan atau sesudah dia mati ?
Sepertiga peninggalan di waktu berwasiat (Pendapat An-Nakha'i dan Umar bin Abdul 'Aziz).
Sepertiga itu di waktu pemberi wasiat mati (pendapat Abu Hanifah, Ahmad dan pendapat yang lebih shahih dari kedua pendapat Asy-Syafi'i) dan inilah pendapat 'Ali dan sebagian Thabi'in.
Wasiat Yang Melebihi Sepertiga
Orang yang berwasiat adakalanya mempunyai ahli waris, adakalanya tidak. Bila dia mempunyai ahli waris, maka dia tidak boleh mewasiatkan lebih dari 1/3. Jika dia mewasiatkan lebih dari 1/3, maka wasiatnya tidak dilaksanakan kecuali atas izin dari ahli waris; dan untuk pelaksanaannya, diperlukan 2 syarat:
Waktu permintaan izin dari ahli waris. Dilaksanakan sesudah si pemberi wasiat mati, sebab sebelum mati, orang yang memberi izin itu belum mempunyai hak. Jika ahli waris memberikan izin di waktu yang berwasiat masih hidup, maka mungkin saja wasiat bisa di tarik kembali kalau ingin. Dan bila ahli waris memberikan izin sesudah pemberi wasiat mati, maka wasiat itu dilaksanakan.
Pemberi izin adalah ahli waris yang kompeten. Yakni tidak dibatasi karena kedunguan atau kelalaian, di waktu memberi izin. Bila orang yang berwasiat tidak mempunyai ahli waris, maka dia pun tidak boleh mewasiatkan lebih dari 1/3 pula. Ini adalah menurut jumhur ulama. Tetapi orang-orang Hanafi, Ishak, Syarik, dan Ahmad dalam satu riwayatnya - yaitu ucapan 'Ali dan Ibnu Mas'ud - memperbolehkan berwasiat lebih dari 1/3 jika tidak mempunyai ahli waris.). Sebab dalalm keadaan ini tidak ada kekhawatiran kemiskinan buat ahli waris, karena wasiat yang ada di dalam ayat adalah wasiat mutlak sehingga dibatasi oleh sunnah dengan "mempunyai ahli waris". Maka wasiat mutlak itu tetap terjadi bagi orang yang tidak mempunyai ahli waris.
Diperbolehkan wasiat dengan sepertiga harta, dan tidak diperbolehkan wasiat yang melebihi sepertiga. Yang utama adalah wasiat yang kurang dari sepertiga, sebab telah terjadi ijma' atas hal ini.
وَعَنْ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ قَالَ : قُلْت يَا رَسُولَ اللَّهِ ، أَنَا ذُو مَالٍ ، وَلَا يَرِثُنِي إلَّا ابْنَةٌ لِي وَاحِدَةٌ ، أَفَأَتَصَدَّقُ بِثُلُثَيْ مَالِي ؟ قَالَ : لَا قُلْت : أَفَأَتَصَدَّقُ بِشَطْرِهِ ؟ قَالَ : لَا قُلْت : أَفَأَتَصَدَّقُ بِثُلُثِهِ ؟ قَالَ : الثُّلُثُ ، وَالثُّلُثُ كَثِيرٌ ، إنَّك إنْ تَذَرْ وَرَثَتَك أَغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَذَرَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُونَ النَّاسَ (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Artinya:Dan dari Sa’d Bin Abi Waqqash r.a. beliau berkata: Saya berkata:,” Ya Rasulullah saya orang yang mempunyai harta yang banyak (kaya) dan tidak ada orang yang mewarisi saya kecuali seorang anak perempuan. Apakah saya sedekahkan dua pertiga hartaku? Nabi menjawab: jangan! lalu saya bertanya lagi: Apakah saya sedekahkan separuhnya?, Beliau menjawab, jangan! Saya bertanya lagi: Apakah saya sedekahkan sepertiganya? Beliau bersabda: "Ya, sepertiga, Sepertiga itu banyak. Sesungguhnya kamu tinggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan mereka melarat yang akan meminta-minta kepada orang. (H.R.Bukhari, Muslim).
Jumhur ulama berpendapat bahwa sepertiga itu dihitung dari semua harta yang ditinggalkan oleh pemberi wasiat.
Malik berpendapat bahwa sepertiga itu dihitung dari harta yang diketahui oleh pemberi wasiat, bukan yang tidak diketahuinya atau yang berkembang tetapi dia tidak tahu.
Sepertiga itu dihitung saat dia mewasiatkan atau sesudah dia mati ?
Sepertiga peninggalan di waktu berwasiat (Pendapat An-Nakha'i dan Umar bin Abdul 'Aziz).
Sepertiga itu di waktu pemberi wasiat mati (pendapat Abu Hanifah, Ahmad dan pendapat yang lebih shahih dari kedua pendapat Asy-Syafi'i) dan inilah pendapat 'Ali dan sebagian Thabi'in.
Wasiat Yang Melebihi Sepertiga
Orang yang berwasiat adakalanya mempunyai ahli waris, adakalanya tidak. Bila dia mempunyai ahli waris, maka dia tidak boleh mewasiatkan lebih dari 1/3. Jika dia mewasiatkan lebih dari 1/3, maka wasiatnya tidak dilaksanakan kecuali atas izin dari ahli waris; dan untuk pelaksanaannya, diperlukan 2 syarat:
Waktu permintaan izin dari ahli waris. Dilaksanakan sesudah si pemberi wasiat mati, sebab sebelum mati, orang yang memberi izin itu belum mempunyai hak. Jika ahli waris memberikan izin di waktu yang berwasiat masih hidup, maka mungkin saja wasiat bisa di tarik kembali kalau ingin. Dan bila ahli waris memberikan izin sesudah pemberi wasiat mati, maka wasiat itu dilaksanakan.
Pemberi izin adalah ahli waris yang kompeten. Yakni tidak dibatasi karena kedunguan atau kelalaian, di waktu memberi izin. Bila orang yang berwasiat tidak mempunyai ahli waris, maka dia pun tidak boleh mewasiatkan lebih dari 1/3 pula. Ini adalah menurut jumhur ulama. Tetapi orang-orang Hanafi, Ishak, Syarik, dan Ahmad dalam satu riwayatnya - yaitu ucapan 'Ali dan Ibnu Mas'ud - memperbolehkan berwasiat lebih dari 1/3 jika tidak mempunyai ahli waris.). Sebab dalalm keadaan ini tidak ada kekhawatiran kemiskinan buat ahli waris, karena wasiat yang ada di dalam ayat adalah wasiat mutlak sehingga dibatasi oleh sunnah dengan "mempunyai ahli waris". Maka wasiat mutlak itu tetap terjadi bagi orang yang tidak mempunyai ahli waris.
Batalnya Wasiat
Wasiat itu batal dengan hilangnya salah satu syarat dari syarat-syarat yang telah disebutkan, misalnya sebagai berikut:
Bila orang yang berwasiat itu menderita penyakit gila yang parah yang mengantarkannya kepada kematian.
Bila orang yang diberi wasiat mati sebelum orang yang memberinya.
Bila yang diwasiatkan itu barang tertentu yang rusak sebelum diterima oleh orang yang diberi wasiat.
Pengertian Wasiat; Hukum, Rukun dan Syarat Sahnya
بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم Kata wasiat terambil dari kata washshaitu, asy-syaia, uushiihi, artinya aushaituhu (aku menyampaikan sesuatu). Secara istilah wasiat adalah pemberian seseorang kepada orang lain (berupa barang, piutang atau manfaat) untuk dimiliki oleh si penerima sesudah orang yang berwasiat mati. Sebagian ahli fikih mendefinisikan wasiat itu adalah pemberian hak milik secara sukarela yang dilaksanakan setelah pemberinya mati. Perbedaannya dengan hibah adalah, pada hibah, pemilikan diperoleh pada saat itu juga, sedang pemilikan pada wasiat diperoleh setelah si pemberi wasiat mati. Perbedaan yang lain; hibah itu berupa barang; sementara wasiat bisa berupa barang, piutang maupun manfaat.
Dasar Hukum Wasiat
Mengenai dasar hukumnya, sebaiknya melaksanakan atau meninggalkan, para ulama berbeda pendapat. Berikut saya sajikan ringkasannya:
Wajib. Memandang bahwa wasiat itu wajib bagi seriap orang yang meninggalkan harta, baik harta itu banyak maupun sedikit, mereka berdalih dengan firman Allah Surah Al-Baqarah ayat 180. (Pendapat Az-Zuhri dan Abu Miljan).
Wajib kepada orang tua dan kerabat. Memandang bahwa wasiat kepada kedua orang tua dan karib kerabat yang tidak mewarisi dari si mati wajib hukumnya (Pendapat Mazhab Masruq, Iyas, Qatadah, Ibnu Jarir dan Az-Zuhri).
Terkadang wajib, sunat, haram, makruh, dan terkadang jaiz (boleh).(Pendapat Imam yang empat dan aliran Zaidiyah). Rinciannya, sebagai berikut:
Wajibnya Wasiat. Bila manusia mempunyai kewajiban syara' yang dikhawatirkan akan disia-siakan bila dia tidak berwasiat, misalnya: adanya titipan, hutang kepada Allah dan manusia, hutang zakat atau haji, atau mempunyai amanat yang harus disampaikan, atau mempunyai hutang yang tidak diketahui selain oleh dirinya, atau dia mempunyai titipan yang tidak dipersaksikan.
Sunatnya wasiat. Bila ia diperuntukkan bagi kebajikan, karib kerabat, orang-orang fakir, dan orang-orang shaleh.
Haramnya wasiat. Bila ia merugikan ahli waris. Diriwayatkan dari Sa'id bin Manshur dengan isnad yang shahih, berkata Ibnu 'Abbas r.a.:"Merugikan ahli waris di dalam wasiat itu termasuk dosa besar." Wasiat jenis ini termasuk katergori batil, sekalipun jumlahnya tidak mencapai sepertiga harta. Diharamkan pula mewasiatkan khamar, membangun gereja atau tempat hiburan.
Makruhnya wasiat. Bila yang berwasiat sedikit hartanya, sementara ia mempunyai ahli waris (sedikit/banyak) yang membutuhkan hartanya. Demikian juga wasiat untuk orang fasik yang dikhawatirkan akan digunakan untuk melakukan kefasikan atau kerusakan. Tapi jika si pemberi wasiat tahu atau yakin bahwa si penerima akan menggunakan harta untuk ketaatan, maka hukumnya menjadi sunah.
Jaiznya wasiat. Bila ia ditujukan kepada orang yang kaya, baik dia kerabat ataupun bukan.
1. Rukun Wasiat
Rukun wasiat adalah ijab dari orang yang mewasiatkan.
Ijab dengan ucapan. Ijab itu dengan segala lafadz yang menunjukkan kepemilikan yang dilaksanakan sesudah dia matai dan tanpa adanya imbalan. Seperti: "Aku wasiatkan kepada si A begini setelah aku mati", atau "Aku berikan itu " atau "Aku serahkan pemilikannya kepada si B sepeninggalku." dll.
Ijab dengan isyarat dan tulisan. Selain terjadi dengan melalui pernyataan, wasiat bisa terjadi pula melalui isyarat yang dapat dipahami, bila pemberi wasiat tidak sanggup berbicara; juga sah pula akad wasiat melalui tulisan.
Wasiat untuk umum. Apabila penerima wasiat tidak tertentu, seperti untuk masjid, tempat pengungsian, sekolah atau rumah sakit, maka ia tidak memerlukan kabul; cukup dengan ijab saja, sebab dalam keadaan yang demikian wasiat itu menjadi shadaqah.
Wasiat untuk orang tertentu. Apabila wasiat diberikan kepada orang tertentu, maka ia memerlukan kabul dari si penerima wasiat setelah si pemberi mati, atau kabul dari walinya jika si penerima wasiat belum memiliki kecerdasan. Jika wasiat diterima, maka terjadilah wasiat itu, tetapi jika ditolak, maka batallah wasiat itu, dan ia tetap menjadi milik para ahli waris si pemberi.
Hak mengubah dan membatalkan. Di dalam wasiat, si pemberi punya hak untuk mengubah atau menarik kembali wasiatnya. Penarikan kembali (Ruju') itu harus dinyatakan dengan ucapan, misalnya: "Aku tarik kembali wasiat itu." boleh juga penarikan kembali itu dengan perbuatan, misalnya tindakan si pembari wasiat menjual objek wasiat.
2. Waktu Wasiat Sah Menjadi Milik Penerimanya
Wasiat itu tidak menjadi hak dari si penerima kecuali setelah pemberinya mati dan hutang-hutangnya dibereskan. Apabila hutang-hutangnya menghabisi semua peninggalan, maka orang yang diberi wasiat itu tidak mendapatkan sesuatu. Yang demikian itu karena firman Allah:
مِنۢ بَعۡدِ وَصِيَّةٍ۬ يُوصِى بِہَآ أَوۡ دَيۡنٍۗ
[Pembagian-pembagian tersebut di atas] sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau [dan] sesudah dibayar hutangnya....(Q.S. An-Nisa: 11).3. Wasiat Bersyarat
Wasiat yang disandarkan atau diikat dengan disertai syarat itu sah, bila syaratnya itu syarat yang dibenarkan, yakni yang mengandung maslahat bagi si pemberi, si penerima, atau bagi orang lain, sepanjang syarat itu tidak dilarang atau bertentangan dengan maksud-maksud syari'ah. Apabila syaratknya itu benar, maka syarat itu wajib dipelihara selama masalahnya masih ada. Apabila maslahat yang dimaksud telah hilang, atau tidak benar, maka syarat itu tidak wajib dipelihara.
Syarat Pemberi, Penerima dan Objek Wasiat
Pemberi wasiat. Disyaratkan agar orang yang memberi wasiat itu adalah oarang yang mempunyai kompetensi (kecakapan) yang sah, yang meliputi akal, kedewasaan, kemerdekaan, ikhtiar dan tidak dibatasi karena kedunguan atau kelalaian. Maka wasiat dari anak-anak, orang gila, hamba sahaya, dipaksa atau dibatasi, maka wasiatnya tidak sah. Akan tetapi Imam Malik menetang pendapat ini dan membolehkan orang yang lemah akal dan anak kecil berwasiat selama memahami makna mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala. (Pendapat ini diadopsi juga oleh Undang-Undang Mesir).
Penerima wasiat. 1.Dia bukan ahli waris dari si pemberi wasiat. إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ فَلاَ وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ “Sesungguhnya Allah telah memberikan hak kepada pemiliknya, maka tidak ada wasiat bagi ahli waris.” [1]. 2. Tidak menjadi pembunuh si pemberi wasiat, dengan pembunuhan yang diharamkan secara langsung.
Objek wasiat. Disyaratkan agar yang diwasiatkan itu bisa dimiliki dengan salah satu cara pemilikan setelah pemberi wasiat mati. Dengan demikian, maka sahlah wasiat mengenai semua harta yang bernilai, baik berupa barang maupun manfaat. Juga buah dari tanaman dan apa yang ada di perut sapi betina, sebab yang demikian dapat dimiliki melalui warisan. Maka selama yang diwasiatkan itu ada wujudnya di waktu yang mewasiatkan mati, orang yang diberi wasiat berhak atasnya. Ini jelas berbeda dengan wasiat mengenai barang yang tidak ada. Sah pula mewasiatkan piutang dan manfaat seperti tempat tinggal serta kesenangan. Dan tidak sah mewasiatkan yang bukan harta, seperti bangkai; dan yang tidak bernilai bagi orang yang mengadakan akad wasiat, seperti khamar bag kaum Muslimin.
Semoga bermanfaat.
ﺳُﺒْﺤَﺎﻧَﻚَ ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﻭَﺑِﺤَﻤْﺪِﻙَ ﺃَﺷْﻬَﺪُ ﺃَﻥْ ﻻَ ﺇِﻟﻪَ ﺇِﻻَّ ﺃَﻧْﺖَ ﺃَﺳْﺘَﻐْﻔِﺮُﻙَ ﻭَﺃَﺗُﻮْﺏُ ﺇِﻟَﻴْﻚ
“Maha suci Engkau ya Allah, dan segala puji bagi-Mu. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Engkau. Aku mohon ampun dan bertaubat kepada-Mu.”
Sumber:
Fikih Sunnah 14, hal. 230, 240-246, Sayyid Saabiq, Penerbit: PT.Al-Ma'arif-Bandung.
[1]. Abu Daud, 2870. Timizi, 2120. An-Nasa’i, 4641. Ibnu Majah, 2713 dari Abu Umamah Dishahihkan oleh Al-Albany dalam shahih Abu Daud.
Sumber:
Fikih Sunnah 14, hal. 230, 240-246, Sayyid Saabiq, Penerbit: PT.Al-Ma'arif-Bandung.
[1]. Abu Daud, 2870. Timizi, 2120. An-Nasa’i, 4641. Ibnu Majah, 2713 dari Abu Umamah Dishahihkan oleh Al-Albany dalam shahih Abu Daud.