Saturday, August 11, 2018

Hukum memotong rambut atau kuku ketika haid.

Sudah rumlah dan biasa telah terjadi di kalangan masyarakat pada zaman dulu sampai sekarang bahkan juga ada yang bertanya-tanya dan ragu akan hukum memotong rambut atau kuku ketika haid, dalam islam semua di atur sampai berak dan kencimpun di atur sesuai dengan norma yang terjadi pada manusia.


Haid merupakan rutinitas wanita setiap bulan sehingga tidak mungkin wanita akan terhindar dari yang namanya haid, oleh sebab itu banyak wanita dan kalangan orang awam menanyakan hukum dari memotong rambut dan kuku ketika haid.

Ada sebuah pertanyaan bagaimana hukum menurut pandangan fiqih tentang wanita yang sedang haid memotong rambut atau kukunya, apakah hukumnya haram atau hanya makruh? Dan bagaimana pula jika ada rambut atau kuku yang rontok atau terlanjur di potong , apakah harus dikumpulkan dan dibersihkan ketika mandi besar.?

Baca :Buang hajat sambil membaca qoran yang bertuliskan lafad al-Muazdam

 Ada dua pilihan yang ada dalam kitab fiqih masalah hukum ini :

a. Hukumnya dimakruhkan .Namun orang yang junub atau perempuan yang sedang haidl sebaiknya tidak memotong kuku, rambut atau anggota tubuh lainnya, karena bagian yang terpotong dari badan manusia akan dikembalikan kelak di hari qiyamat dalam keadaan hadas besar.

 maksud dari anggota yang terpotong akan dikembalikan kelak di hari kiamat menurut imam Bujairimi, anggota tubuh yang dikembalikan di hari kiamat adalah anggota yang ada pada saat dia meninggal dunia, bukan anggota yang telah terpotong sebelumnya, karena nggota badan dikembalikan pada hari kebangkitan adalah anggota tubuh yang ada pada saat dia mati. Namun adapula yang berpendapat rambut dan kuku yang telah terpotongpun kelak akan dikembalikan pula dalam keadaan berhadast, hanya saja dengan keadaan yang terpisah. ( Baca “Hawasi Asy- Syarwani” vol 1 hlm 284 Maktabah Asy-Syamilah)

(Baca : Cara Istinjaknya orang yang kenak penyakit wasir

b. tidak Namun ia wajib membasuh yang terpotong saja.

dalam kitab Hasiyah al-Jamal jus 2 Shahifah 96 Maktabah Syamilah:
قال في الاحياء وينبغي للانسان أن لا يزيل شيأ من شعره أويقص أظافره أو يحلق رأسه أو عانته أويخرج دما أويبين جزءا من نفسه وهو جنب , لأن جميع أجزائه ترد اليه في الاخرة ويبعث عليها فتعود بصفة الجنابة ويقال إن كل شعرة تطالب بجنابتها . قال شيخنا وفي عود نحو الدم نظر, وكذا غيره لأن العائد له يوم القيامة إنماهو الأجزاء التي مات عليها لانقص نحز عضو مثلا فراجعه اهـ برماوي.
   Keterngan  : “Berkata Imam al-Ghazali dalam karyanya Al-Ihyak Ulumuddin, alangkah baiknya bagi orang yang berhadast besar agar agar tidak mkenghilangkan rambutnya, memotong kukunya, menyukur rambut kepalanya, memotong bulu-bulu kapok(bulu kempung/rambut kemaluan, mengeluarkan darahnya, atau memperlihatkan bagian juz dari dirinya sedangkan ias masih dalam keadaan junub. Karena semua anggotanya kelak akan dikembalikan di akhirat dengan keadaan junub, dan anggota tersebut akan di bangkitkan dan kembali dengan keadaan janabah.
Diucapkan bahwa setiap rambut itu akan dituntut dengan hadast janabahnya. Syaikhuna berkata, adapun tentang kembalinya darah itu masih perlu difikirkan, begitupula anggota yang selainnya darah. Karena anggota yang akan kembali kepada pemiliknya kelak di hari kiyamat adalah anggota-anggota tubuh yang ada disaat dia meninggal, bukan anggota yang terputus maka rujuklah pada sumber sebenarnya. Selesai Al-Barmawi”.

Dalam Kitab Nihayatuzzain shahifah 31 Maktabah Haramain menyebutkan :

ومن لزمه غسل يسن له أن لايزيل شيأ من بدنه ولو دما أوشعرا أوظفرا حتى يغتسل لأن كل جزء يعود له في الأخرة فلو أزاله قبل الغسل عاد إليه الحدث الاكبر تبكيتا للشخص اهـ
Keterangan : barang siapa yang berkewajiban mandi besar, maka baginya disunnahkan untuk tidak menghilangkan sesuatu dari badannya , sekalipun berupa darah , rambut dan kuku sehingga dia mandi, karena semua juz manusia itu akan kembali padanya kelak di akhirat, dan jika ia menghilangkan sebelum mandi besar, maka ( juz yang terpotong ) itu akan kembali dalam keadaan hadast besar, karena yang demikian itu untuk menjerakan manusia.

Baca : Pasein yang bertayammum di Kasur

Dalam kitab Al-Fawaid al-Makkiyah Shahifah 54 menyebutkan sebagai berikut:

وينبغي الاغلب فيها استعمالها في المندوب تارة والوجوب أخرى ويحمل على أحدهما بالقرينة, وقد يستعمل للجواز والترجيح ولا ينبغي قد تكون للتحريم أو الكراهة اهـ
Lafad “Yanbaghi” Pada umumnya sepantasnya difungsikan untuk menunjukkan makna perkara yang disunnahkan dan kadangkala difungsikan untuk menunjukkan makna wajibdan terkadang kata “ Yanbaghi” bisa di arahkan untuk menunjukkan pada salah satu dari keduanya (sunnah atau wajib) jika ada indicator (qorinah) yang mengarahkan dan terkadang bisa dibuat untuk menunjukkan makna jawaz(boleh) dan mentarjih  sedangkan kata “ La Yanbaghi” itu di buat untuk menunjukan makna haram atau makna makruh”

Demikian  artikel yang kami sajikan semoga bermanfaat dan apabila anda senang dengan artikel ini share dan bagikan keteman terdekat anda agar lebih bermanfaat dan menambah wawasan keilmuan kita . (al-Inaya)